Bea Cukai Sebut Ada Usulan Pajak Rokok Daerah Naik Jadi 12,5 Persen
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyebut saat ini muncul usulan Pajak Rokok Daerah (PRD) akan ditingkatkan dari 10% menjadi 12,5%.
Nasional
JAKARTA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyebut saat ini muncul usulan Pajak Rokok Daerah (PRD) akan ditingkatkan dari 10% menjadi 12,5%.
Usulan ini membuka ruang bagi daerah untuk meningkatkan program-program kesehatan preventif dan promotif.
“Ini juga mendukung penekanan konsumsi rokok sesuai amanat cukai rokok,” kata Wirmansyah Lukman, Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar III dalam diskusi secara virtual, Selasa, 13 Oktober 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Sejak 2008, melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT), pemerintah harus mengalokasikan 2% dari penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang dibuat di Indonesia untuk dibagihasilkan kepada provinsi penghasil tembakau.
Tujuannya untuk mendanai kegiatan peningkatan kualitas bahan baku, pengembangan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal berupa DBHCHT tersebut.
Selain itu, 50% dari pajak rokok juga ditujukan untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum (dalam hal distribusi rokok). Spesifiknya, pajak rokok digunakan untuk pendanaan pelayanan kesehatan berfokus pada upaya promotif dan preventif.
Sepakat dengan usulan itu, Abdillah Ahsan, Direktur SDM Universitas Indonesia berharap pemerintah dapat mengembalikan fitrah cukai. Artinya, penggunaan DBHCHT harus bisa menunjang tercapainya tujuan dari pengenaan cukai rokok.
Sebagai contoh, DBHCHT seharusnya dapat digunakan untuk membantu kelompok miskin keluar dari jurang kemiskinan, serta terbebas dari rokok. Selain itu, pengawasan atas pelaksanaan kawasan tanpa rokok (KTR).
Kemudian juga untuk memastikan tertutupnya akses rokok pada anak di bawah umur melalui tindakan oleh aparatur penegak hukum.
“Earmarking jangan berhenti pada 2% DBHCHT, lalu 98 sisanya perlu diatur agar pemanfaatan cukai lebih optimal untuk mitigasi kebijakan mencegah dampak buruk akibat rokok,” kata dia. (SKO)