<p>Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam video live streaming di channel Youtube Bank Indonesia</p>
Industri

Bebankan Rasio Kredit UMKM 30 Persen Kepada Perbankan, Bank Indonesia Dinilai Overlap

  • Dalam memperkuat implementasi kebijakan, BI bahkan telah menyiapkan sanksi kepada pelaku industri bisa gagal memenuhi rasio kredit UMKM 20% pada 2022, 25% pada 2023, dan puncaknya 30% pada 2024.

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) baru saja menerbitkan beleid baru bernomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.

Beleid ini menjadi payung hukum otoritas moneter untuk memecut penyaluran kredit perbankan ke segmen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Dalam memperkuat implementasi kebijakan, BI bahkan telah menyiapkan sanksi kepada pelaku industri bisa gagal memenuhi rasio kredit UMKM 20% pada 2022, 25% pada 2023, dan puncaknya 30% pada 2024.

Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai langkah ini melebihi wewenang BI. Menurutnya, terbitnya BI telah mengintervensi kewenangan otoritas lain dalam penerapan aturan baru ini.

“Itikad baik harus dilakukan secara benar dalam koridor kewenangan yang dimiliki BI, tidak overlap apalagi mengintervensi kewenangan otoritas lain. Mengatur apa yang harus dilakukan oleh bank hingga kemudian memberikan sanksi kepada bank adalah kewenangan OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” kata Piter kepada TrenAsia.com, Senin, 6 September 2021.

Meninjau PBI 23/13/PBI/2021, bank sentral tercatat menerapkan sanksi teguran hingga denda kepada perbankan yang gagal memenuhi target penyaluran kredit. Bila pada akhir 2022 perbankan tidak memenuhi RPIM 20%, maka BI bakal melayangkan teguran tertulis.

Sanksi yang lebih progresif diterapkan pada 2023 di mana perbankan mesti membayar denda bila penyaluran RPIM tidak mencapai 25%. Sanksi kewajiban dihitung berdasarkan hasil perkalian antara konstanta sebesar 0,1% dan nilai kekurangan RPIM dengan nilai maksimal sebesar Rp5 miliar.

Bila ditelisik lebih dalam, aturan anyar BI ini sebenarnya melengkapi target pembiayaan UMKM dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM). Kementerian yang dinahkodai Teten Masduki itu lebih dulu menggabungkan target rasio kredit UMKM perbankan 30% pada 2024, tahun yang sama dengan target dalam PBI 23/2021.

Kemenkop UKM meninjau rasio kredit UMKM di Indonesia masih kalah dari negara-negara tetangga. Rasio kredit pelaku UMKM di singapura tercatat telah mencapai 39%. Adapun Malaysia mampu mencapai 50%, Thailand 51%, Jepang 66%, serta Korea Selatan 82%.

Meski memiliki visi yang sama untuk memberi akses pembiayaan, Piter menyebut hal ini tidak serta merta menjadi tanggung jawab utuh dari perbankan. Pasalnya, tidak semua perbankan memiliki fokus bisnis di segmen UMKM.

Alih-alih mengikat perbankan dengan target tersebut, Piter menyebut BI untuk lebih fokus melakukan evaluasi terhadap penerapan suku bunga acuan.

“Kalau kemudian instrumen suku bunga tidak efektif, BI seharusnya fokus mencari apa penyebab instrumen suku bunga tidak mampu meningkatkan penyaluran kredit.  Bukan kemudian masuk ke wilayah kewenangan otoritas lain,” keluh Piter.

Memfasilitasi UMKM

Di sisi lain, BI mengklaim kebijakan ini tercipta untuk memfasilitasi pembiayaan UMKM. Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung menyebut penyaluran kredit perbankan kepada UMKM hingga Juli 2021 baru mencapai Rp1.135 triliun atau berada di bawah permintaan yang sebesar Rp1.600 triliun.

Sebanyak 69,5% pelaku UMKM diklaim belum menerima kredit. Padahal, 43,1% di antaranya membutuhkan kucuran dana kredit.

Lebih rinci, Juda menyebut penyaluran kredit dibutuhkan oleh pelaku usaha menengah sebesar Rp740 triliun, usaha kecil Rp534 triliun, dan usaha mikro Rp331 trilun.

Meski masih pandemi, Juda menilai sisi demand terhadap penyaluran kredit UMKM masih terbuka lebar. Oleh karena itu, beleid ini dinilai mampu mendongkrak kemampuan intermediasi perbankan kepada UMKM.

“Dari potensi demand, makanya kredit sudah positif 1,93% pada Juli 2021. Dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta pangsa yang besar terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), UMKM menjadi kunci dalam pemulihan ekonomi nasional,” ucapnya dalam diskusi virtual, Jumat, 3 September 2021