Produk Tupperware (Tupperware).
Dunia

Belajar dari Ambruknya Tupperware, Produk Andalan Ibu-ibu Indonesia

  • Sejak diperkenalkan oleh penciptanya, Tupper, produk Tupperware mendunia dan digunakan banyak ibu rumah tangga termasuk di Indonesia. Namun, siapa sangka produk terkenal andalan ibu-ibu itu terancam bangkrut setelah 78 tahun produksi.

Dunia

Ilyas Maulana Firdaus

JAKARTA — Produk peralatan dapur Tupperware mengajukan klaim kebangkrutan setelah bertahun-tahun menghiasi industri alat rumah tangga. Sejak diperkenalkan oleh penciptanya, Tupper, produk Tupperware mendunia dan digunakan banyak ibu rumah tangga termasuk di Indonesia.

Namun, siapa sangka produk terkenal andalan ibu-ibu itu terancam bangkrut setelah 78 tahun produksi. Sebelumnya, pada tahun 2020 perusahaan produk tersebut mengatakan tidak mampu bersaing lagi dan pesimistis melanjutkan bisnis.

Usut punya usut, Tupperware tidak mampu bersaing akibat bertahun-tahun berjuang melawan penurunan penjualan dan tingginya persaingan. Tupperware yang sudah diperdagangkan secara publik sudah mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11.

Menurut laman US Courts, Bab 11 terkait kepailitan dapat memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk melakukan restrukturisasi utang namun tetap beroperasi. Menurut pengajuan pengadilan, mencatat perkiraan aset antara US$500 juta hingga US$1 miliar dan kewajiban US$1 miliar hingga US$10 miliar. 

Pada bulan Juni 2024, perusahaan berencana menutup pabrik satu-satunya di Amerika Serikat dan memberhentikan hampir 150 karyawan. Sebelumnya pengajuan kebangkrutan Tupperware sudah dilakukan dengan adanya negosiasi selama berbulan-bulan antara perusahaan dengan pemberi utang. 

Negosiasi yang dilakukan membahas mengenai cara mengelola lebih dari US$700 juta utang perusahaan. Sang kreditur sudah memberikan keringanan dan memberikan napas kepada perusahaan mengenai utang. Namun penjualan produk mereka terus memburuk.

Dilansir dari Reuters, Rabu, 18 September 2024, perusahaan dikabarkan kesusahan memenuhi kebutuhan bahan baku ketika mengalami kenaikan harga seperti resin plastik dan tenaga kerja setelah terjadinya pandemi COVID-19. Hingga pada akhir tahun 2023, perusahaan memiliki utang mencapai US$777 juta atau sekitar Rp12 triliun.

Ada beberapa faktor yang menjadikan Tupperware kehilangan konsumen setelah pandemi, disaat pandemi perusahaan mendapatkan kenaikan penjualan akibat semua orang diam dirumah saja. 

Namun, ketidaksiapan perusahaan setelah pandemi dengan banyaknya bermunculan produk-produk pesaing, serta promosi dan iklan yang lebih inovatif untuk menjual produk mereka melalui berbagai platform media sosial.

Tidak Menjangkau Konsumen Muda

Dari kejadian itu, produk favorit ibu-ibu itu kehilangan para penjual dan konsumennya. Selain itu, manajemen perusahaan menilai bahwa merek ini tidak cukup dekat dan terhubung dengan para konsumen yang lebih muda.

Perusahaan sudah mendistribusikan produk mereka lebih dari 70 negara di dunia, dengan dibangun diatas tenaga para konsumen loyal dari mulut ke mulut. Digitalisasi marketing ternyata belum cukup untuk membuahkan hasil yang signifikan dan sesuai keinginan perusahaan. 

Perubahan pola konsumsi konsumen semakin beralih ke belanja online dan produk sekali pakai, mengurangi permintaan untuk barang-barang tahan lama seperti Tupperware. Kegagalan perusahaan dalam mengikuti perkembangan digital menjadi faktor yang sangat fatal dalam berlangsungnya bisnis perusahaan.

Interaksi antar perusahaan dan konsumen juga menjadi alasan pailitnya Tupperware. Di era digital seperti sekarang, baik buruknya kredibilitas perusahaan juga dilihat dari citra mereka di media sosial. Kasus ini menjadi salah satu contoh pentingnya menjaga hubungan antara perusahaan dan konsumen.