<p>Fintech India</p>
Pasar Modal

Belajar dari Raksasa Dunia, Begini Prospek Emiten Teknologi Digital di Lantai Bursa

  • JAKARTA – Andaikan Cina Jack Ma sukses membawa perusahaan teknologi finansialnya, Ant Corporation melantai di bursa saham akhir tahun lalu, maka kesuksesan itu akan menjadi sebuah aksi korporasi yang paling monumental. Bagaimana tidak, nilai penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) Ant ditaksir mencapai US$37 miliar atau setara Rp536,5 triliun. Pendiri dan Koordinator Indonesia Financial […]

Pasar Modal
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Andaikan Cina Jack Ma sukses membawa perusahaan teknologi finansialnya, Ant Corporation melantai di bursa saham akhir tahun lalu, maka kesuksesan itu akan menjadi sebuah aksi korporasi yang paling monumental.

Bagaimana tidak, nilai penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) Ant ditaksir mencapai US$37 miliar atau setara Rp536,5 triliun.

Pendiri dan Koordinator Indonesia Financial Watch Abraham Runga Mali mengataka pengumpulan dana publik itu melampui rekor yang pernah dicapai perusahaan minyak asal Arab Saudi, Aramco.

Salah satu perusahaan paling bernilai di dunia itu berhasil meraup dana segar US$29,4 miliar atau Rp426,3 triliun melalui IPO. Meskipun Ant gagal, anak perusahaannya, Alibaba yang juga sebuah perusahaan digital sudah lebih dahulu melantai di bursa pada 2014. Nilainya cukup fantastis yakni sebesar Rp170 triliun.

Seperti yang diakui sahabat Jack Ma, seorang pengusaha Jepang yang menjadi CEO Softbank, Masayoshi Son, saat IPO itu, perusahaannya meraup keuntungan yang luar biasa. Dengan investasi sebesar US$20 juta pada saham Alibaba, bank itu meraup profit berlipat ganda hingga US$60 miliar.

Nilai IPO yang besar dan keuntungan yang tinggi itu menandai bahwa perusahaan sektor teknologi digital sedang berada pada masa keemasan. Kendati begitu, Abraham mengingatkan, pencapaian sektor digital seperti yang tampak saat ini merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang, salah satunya industri financial technology (fintech).

Merujuk riset Charles Teschner dan kawan-kawan bertajuk ‘Fintech in Capital Markets: A Land of Opportunity‘ pada 2016, setelah terbentuknya Nasdaq, bursa elekrotonik pertama dunia pada 1971, terjadi tiga gelombang besar perkembangan teknologi finansial.

Gelombang pertama, paparnya, terjadi padanya era 1980 hingga 1990. Saat itu, menurut penelitian mereka,  terdapat sekitar 100 perusahaan fintech di pasar modal yang kebanyakan bergerak di pasar data, distribusi informasi, manajemen risiko dan core processing. Elektronisasi pasar finansial dan jasa brokerage mendukung percepatan transaksi dealer antar negara.

Kemudian, gelombang kedua terjadi antara 2000 hingga 2007. Saat itu terdapat sekitar 140 fintech yang mulai berurusan dengan e-trading. Sejumlah platform seperti Currenex muncul pada periode ini.

Sedangkan gelombang ketiga berlangsung mulai tahun 2008 dengan muncul sekitar 310 fintech yang mulai bermetamorfose pada pelayanan jasa yang lebih canggih yang digerakkan oleh perkembangan cloud hosting, artificial intelligence (AI), peer-to-peer computing, serta regulasi di bidang finansial.

Perkembangan di Tanah Air

Abraham menjelaskan potensi perkembangan industri teknologi secara global direspons secara baik oleh para pebisnis Indonesia. Respons tersebut didukung  oleh pengguna teknologi komunikasi dan internet yang kian meluas di kalangan masyarakat.

Ia menilai, penetrasi teknologi hingga pelosok Nusantara memberi peluang pada para pelaku bisnis teknologi untuk terus mengembangkan diri dan melakukan koneksi yang optimal dengan para pelanggan mereka.

Berdasarkan survei ‘We Are Social‘ tahun 2017, pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta atau 51% dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut tumbuh 51% atau 45 juta pengguna hanya dalam kurun waktu satu tahun.

Dalam pencapaian ini, Indonesia berada di posisi teratas, kemudian diikuti Filipina dan Meksiko yang mengalami pertumbuhan 27%. Dari jumlah itu, sekitar 106 juta masyarakat Indonesia atau sekitar 40%, aktif di media sosial dengan jumlah telepon seluler yang menjadi pengakses utama sebanyak 92 juta.

Fenomena Gojek, perusahan teknologi digital yang didalamnya juga berurusan dengan fintech yakni GoPay, yang saat ini menjelma menjadi perusahaan raksasa dengan valuasi sebesar US$1,3 miliar atau setara dengan Rp17,3 triliun adalah cerita sukses yang membuka mata banyak orang.

Tak berlebihan kalau McKensey dalam laporannya, Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity menyebut Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari revolusi digital. Bahkan, lembaga itu memprediksi kalau dampak ekonomi yang dihasilkan bisa mencapai US$150 miliar per tahun pada 2025.

Menangkap Peluang Pasar Modal

Menarik dicatat bahwa sebagian besar perusahaan teknologi itu aktif memanfaatkan dana di pasar modal, terutama melalui IPO. Abraham menyebut, saat ini sudah terdapat 20 perusahaan dari sektor teknologi yang mencatatkan sahamnya di BEI.

Berdasarkan data per 5 Februari 2021, secara year-to-date (ytd) indeks IDXTECHNO merupakan indeks dengan kinerja pertumbuhan terbaik dibandingkan indeks komposit dan indeks sektoral lainnya. IDXTECHNO secara ytd tumbuh 108,74%, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya tumbuh 2,89%.

Lalu, berdasarkan data BEI tanggal 11 Februari 2021, sudah terdapat 25 perusahaan dalam proses evaluasi pencatatan saham di BEI alias pipeline, di mana 3 diantaranya merupakan perusahaan dari sektor teknologi. Apabila semua proses berjalan sesuai rencana, 3 perusahaan tersebut diperkirakan dapat tercatat di bursa paling cepat pada kuartal pertama tahun ini.

Salah satu yang gencar mempersiapkan diri misalnya Ultra Voucher, yaitu perusahaan berbasis teknologi digital yang tumbuh kurang lebih 100% per tahun sejak 2016 dan memiliki cashflow bagus juga fundamental bisnis yang baik. Sepanjang tahun lalu, transaksinya tumbuh hingga 200% serta pengunduh meningkat 50% menjadi kurang lebih 190.000 pengguna.

Hingga saat ini, Ultra Voucher telah bermitra dengan lebih dari 300 brand ternama dan lebih dari 40.000 outlet di seluruh Indonesia, mulai dari F&B, department store, lifestyle, e-commerce, hotel dan travel, beauty and relaxation, entertainment, accessories dan jewelery, bahkan investment. Jumlah ini diprediksi akan terus tumbuh sejalan dengan proses kesepakatan kerja sama baru.

Menilik sektor digital yang sedang menanjak dan pengelolaan internal yang profesional, bukan tidak mungkin perusahaan ini akan menambah cerita sukses perusahaan-perusahaan teknologi di sektor ini.

Apalagi, ketika virus COVID-19 masih berkecamuk dan membatasi mobilitas dan pertemuan tatap muka, model bisnis yang diemban perusahan-perusahaan teknologi, termasuk Ultra Voucher, akan mengonfimasi keunggulan model bisnisnya, sekaligus kian mengafirmasi prospek kinerjanya.