Belajar Pertanian Organik di Kebun Ngudi Makmur Solo
- Dalam pertanian organik, warga didorong mengembangkan teknik budidaya yang berorientasi pemanfaataan bahan-bahan alami (lokal) dan menghindari pestisida.
Gaya Hidup
SOLO—Pertanian organik kini tengah banyak dibahas dan diaplikasikan di penjuru Indonesia. Hal ini tak lepas dari meningkatnya kesadaran warga ihwal bahan pangan sehat dan tak terkontaminasi bahan kimia.
Dalam pertanian organik, warga didorong mengembangkan teknik budidaya yang berorientasi pemanfaataan bahan-bahan alami (lokal) dan menghindari pestisida. Data Organik Indonesia menyebutkan total luas lahan penanaman produk organik telah mencapai 261.400 hektare, dengan 79.800 hektare sudah tersertifikasi.
Produk organik terbesar yang diproduksi di Indonesia yaitu kopi organik mencapai sekitar 346.200 ton. Posisi kedua adalah beras organik yang produksinya mencapai sekitar 12.276 ton.
Di peringkat ketiga ada madu dengan angka produksi mencapai sekitar 2.702 ton. Selain itu terdapat beberapa produk organik lain seperti gula kelapa, rempah – rempah, salak, cocoa, kacang mede dan gula aren.
Pengembangan pertanian organik tak harus membutuhkan lahan yang luas dan berorientasi pasar. Tak sedikit inisiatif warga yang mengembangkan teknik pertanian itu dari lahan tidur di dekat rumah. Salah satunya yakni Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngudi Makmur.
- 5 Pemain Sepak Bola Aktif dengan Biaya Posting Instagram Pribadi Termahal
- Sejarah Misi Apollo: Deretan Manusia yang Pernah ke Bulan
- Bitcoin Berpotensi Turun ke Kisaran US$20.000, Kesempatan Beli di Harga Diskon
KWT yang mengembangkan kebun pertanian organik di RW 005 Joglo, Banjarsari, Solo itu terbukti mampu mencukupi kebutuhan pangan sehat warga sekitar. Apabila ada produksi berlebih, mereka baru menjual atau mengolahnya terlebih dulu untuk dipasarkan.
KWT Ngudi Makmur juga tak lelah memberi inspirasi agar warga turut mengembangkan pertanian organik sesuai kemampuan dan kebutuhannya. Belum lama ini, sekitar 20 anak muda mengunjungi kebun Ngudi Makmur untuk mempelajari membuat pestisida nabati, pengolahan sampah rumah tangga hingga membuat pupuk dari kasgot (bekas maggot).
Kegiatan itu merupakan bagian program “Toxic Free for Teenager” yang digelar Yayasan Gita Pertiwi. Kunjungan lapangan diikuti pemuda dari SMPN 3 Solo, SMPN 9 Solo, mahasiswa Fakutas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dan Forum Anak Surakarta (FAS).
Kegiatan edukasi didampingi Ketua KWT Ngudi Makmur Margareta Pety Aryani dan sejumlah anggota KWT. Pety mengaku antusias berbagi ilmu pertanian organik dengan generasi muda.
Menurut Pety, anak-anak muda, khususnya di Solo, perlu mulai mengetahui langkah bertani secara organik dari hal sederhana. “Dengan begitu harapannya ke depan mereka bisa tertarik mengembangkan pertanian perkotaan secara berkelanjutan,” ujar Pety saat diwawancara usai kegiatan.
Bahan Sederhana
Dalam kesempatan kemarin, KWT Ngudi Makmur mengajak mereka membuat pestisida nabati (pesnab) dengan bahan sederhana seperti daun sirsak, sereh, kunir dan dicampur cengkeh. Menurut Pety, pesnab jauh lebih memberikan manfaat pada tanaman dan tanah daripada pestisida kimia.
Pety mengatakan tanaman yang disemprot pesnab lebih sehat untuk dikonsumsi sehari-hari. Selain itu, tanah juga tidak kehilangan unsur hara. “Pesnab bikin tanah tetap gembur, tidak keras seperti kalau pakai pestisida kimia. Kami telah membuktikannya sendiri,” ujar Pety.
Selain bikin pesnab, para pemuda diajak membuat pupuk organik menggunakan kasgot atau bekas maggot. Kasgot adalah sisa pencernaan yang dihasilkan larva maggot Black Soldier Fly.
Hasil pencernaan ini dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. “Dalam pertanian organik, semua komponen dapat dimanfaatkan untuk keberlanjutan. Tidak ada yang terbuang sia-sia,” ujar Pety.
Direktur Program Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti mengatakan selain belajar di KWT Ngudi Makmur, Gita Pertiwi mengajak para generasi muda memahami pengelolaan sampah dengan menyusuri TPA Putri Cempo.
“Setelah mengunjungi Ngudi Makmur dan Putri Cempo, peserta kami minta berdiskusi dan membuat video tentang apa yang mereka pelajari. Dengan demikian ilmu yang diterima bisa semakin tersebar luas,” ujar Titik.