Ilustrasi fintech peer-to-peer lending.
Fintech

Belum Penuhi Modal, 10 P2P Lending Terancam Tumbang

  • Sebanyak 10 dari 97 penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending diketahui belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum sesuai ketentuan yang berlaku per Oktober 2024. Berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setiap penyelenggara fintech P2P lending diwajibkan memiliki ekuitas minimum sebesar Rp7,5 miliar.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Sebanyak 10 dari 97 penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending diketahui belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum sesuai ketentuan yang berlaku per Oktober 2024. Berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setiap penyelenggara fintech P2P lending diwajibkan memiliki ekuitas minimum sebesar Rp7,5 miliar.

Hal ini disampaikan Kepala Eksekutif Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK (KE PVML), Agusman, dalam konferensi pers baru-baru ini. 

“Saat ini terdapat 10 dari 97 penyelenggara P2P lending yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum Rp7,5 miliar,” ungkap Agusman dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) akhir pekan lalu. 

Perusahaan Fintech P2P Lending yang Tumbang Tahun Ini

Tahun ini, tercatat ada dua perusahaan fintech P2P lending yang izin usahanya dicabut karena ketidakmampuan dalam memenuhi modal minimum, yaitu Jembatan Emas dan Investree. 

Berdiri pada tahun 2018, Jembatan Emas adalah fintech lending yang bertujuan memberikan akses pembiayaan bagi individu dan UMKM yang sulit mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan tradisional. 

Layanan unggulannya mencakup pinjaman individu dan pembiayaan UMKM dengan bunga kompetitif dan tenor fleksibel. Perusahaan ini beroperasi dari kantor di Gedung Senayan Business Center, Jakarta Selatan.

Pada 3 Juli 2024, izin usaha Jembatan Emas dicabut oleh OJK melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-33/D.06/2024. Alasannya adalah ketidakmampuan perusahaan memenuhi ketentuan permodalan minimum dan pemenuhan jumlah direksi sesuai regulasi. 

Sementara itu, Investree dikenal sebagai pionir fintech P2P lending di Indonesia. Perusahaan ini menawarkan berbagai produk pembiayaan, seperti Buyer Financing, Invoice Financing, hingga pendanaan syariah. 

Kantor pusatnya terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Selain itu, Investree juga mencatatkan berbagai pencapaian, seperti meningkatkan pendapatan 41% borrower mikro pada periode 2020-2021.

Namun, pada 21 Oktober 2024, OJK mencabut izin usaha Investree melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-53/D.06/2024. Pencabutan ini dilakukan karena pelanggaran ketentuan ekuitas minimum serta memburuknya kinerja operasional. 

Sebelumnya, OJK telah memberikan kesempatan kepada manajemen untuk memperbaiki kondisi perusahaan, termasuk mendatangkan investor strategis. Selain itu, CEO Investree, Adrian Gunadi, diduga melarikan diri ke luar negeri, sehingga OJK bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menyelesaikan kasus ini.

Investree juga menghadapi kesulitan dalam menjaga kepercayaan lender dan borrower karena ketidakmampuan manajemen memenuhi persyaratan regulasi. 

Baca Juga: Deretan Kasus Fintech Lending yang Menonjol Sepanjang 2024

Upaya Peningkatan Ekuitas oleh Penyelenggara 

Meskipun tidak merinci nama-nama perusahaan yang belum memenuhi ekuitas minimum, Agusman menyebutkan bahwa 5 dari 10 penyelenggara fintech P2P lending tersebut tengah dalam proses analisis permohonan peningkatan modal disetor.

OJK sendiri terus memantau perkembangan action plan yang diajukan perusahaan, termasuk berbagai langkah yang ditempuh seperti suntikan modal dari pemegang saham maupun investor strategis lokal atau asing yang memiliki kredibilitas. 

“OJK akan terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan, termasuk pemberian sanksi jika diperlukan, hingga pengembalian izin usaha,” tegas Agusman.

Aturan Tiga Tahap Ekuitas Minimum Berdasarkan POJK 10/2022 

Ketentuan mengenai ekuitas minimum fintech P2P lending diatur dalam Pasal 50 POJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Regulasi ini diberlakukan dalam tiga tahap sejak diterbitkan pada 29 Juni 2022:

  1. Tahap Pertama: Berlaku 1 tahun setelah aturan diundangkan, tepatnya pada 29 Juni 2023, setiap penyelenggara P2P lending wajib memiliki ekuitas minimum sebesar Rp2,5 miliar.
  2. Tahap Kedua: Berlaku 2 tahun setelah aturan diterbitkan, yaitu mulai 29 Juni 2024, di mana ekuitas minimum yang harus dimiliki meningkat menjadi Rp7,5 miliar.
  3. Tahap Ketiga: Berlaku 3 tahun sejak aturan diundangkan, yaitu pada 29 Juni 2025, penyelenggara wajib memiliki ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar.

Sanksi bagi Pelanggar Ketentuan Ekuitas Minimum Bagi penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum, OJK akan mengenakan sanksi administratif secara bertahap. Sanksi yang diterapkan meliputi:

  • Peringatan tertulis
  • Pembatasan kegiatan usaha (PKU)
  • Pencabutan izin usaha

Langkah ini dilakukan untuk memastikan stabilitas industri fintech P2P lending serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap layanan pendanaan berbasis teknologi informasi di Indonesia. OJK menekankan pentingnya kepatuhan terhadap aturan yang berlaku agar ekosistem fintech dapat berkembang secara sehat dan berkelanjutan.