Benci Tapi Rindu Cukai Rokok, Antara Kendalikan Konsumsi dengan Biayai Negara
JAKARTA – Tidak bisa dipungkiri, tembakau merupakan tanaman yang punya tempat istimewa di hati banyak masyarakat Indonesia. Meskipun bukan tanaman endemik Nusantara, tembakau terlanjur mengakar di kebudayaan masyarakat. Bukan hanya sebagai tanaman komoditas, tembakau telah turun temurun menjadi bagian dari berbagai kebudayaan di beberapa daerah. Selain itu, peran tembakau makin krusial dengan besarnya kontribusi IHT […]
Industri
JAKARTA – Tidak bisa dipungkiri, tembakau merupakan tanaman yang punya tempat istimewa di hati banyak masyarakat Indonesia. Meskipun bukan tanaman endemik Nusantara, tembakau terlanjur mengakar di kebudayaan masyarakat.
Bukan hanya sebagai tanaman komoditas, tembakau telah turun temurun menjadi bagian dari berbagai kebudayaan di beberapa daerah. Selain itu, peran tembakau makin krusial dengan besarnya kontribusi IHT dalam penerimaan negara.
Tidak heran, karena pemain IHT diramaikan mulai dari pabrik rumahan sampai perusahaan multinasional. Harumnya IHT juga diperkuat oleh perokok yang dikenal sebagai konsumen yang sangat loyal.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Bagaimana tidak, tembakau mengandung zat adiktif yang membuat ‘ahli hisap’ jadi kecanduan dan akhirnya sulit lepas dari kebiasaan merokok.
Tidak hanya dicintai, rokok juga punya musuh yang tak kalah militan. Bukan tanpa alasan, seluruh dunia tahu bahwa rokok memiliki eksternalitas negatif bagi kesehatan.
Maka, rokok merupakan salah satu barang kena cukai (BKC) yang tujuannya untuk mengendalikan konsumsi dan membatasi peredarannya.
Ibarat memiliki dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, industri rokok sudah sejak lama selalu dihiasi tarik menarik antara kepentingan ekonomi dan kesehatan. Tidak jauh beda dengan kondisi pandemi COVID-19 saat ini, pilih lockdown tapi resesi atau sebaliknya.
Padahal, banyak ahli berpendapat bahwa tidak seharusnya dua kepentingan tersebut harus saling menjatuhkan. Di mana titik tengahnya? Dalam konteks IHT, cukai punya peran vital yaitu menjaga penerimaan negara sekaligus mengendalikan konsumsi rokok.
Cukai di Indonesia
Menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) BKC merupakan barang-barang tertentu karena mempunyai sifat konsumsi perlu dikendalikan, peredaran diawasi, pemakaian mempunyai dampak negatif kepada masyarakat atau lingkungan hidup, atau barang yang perlu dikenakan pungutan.
Saat ini, sejumlah objek yang menjadi BKC antara lain adalah etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol (bir, shandy, anggur, arak dll), hasil tembakau seperti rokok (sigaret), cerutu, rokok daun, tembakau iris.
Spesifik soal CHT, beberapa isu yang terus menguar adalah tarif cukai, simplifikasi tarif CHT, dan ekstensifikasi cukai atau perluasan BKC.
Kerumitan sistem strata tarif cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia membuat banyak tujuan sering kali tidak sejalan satu sama lain. Sebut saja optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi tembakau guna menyokong sektor kesehatan, dan mewujudkan kesinambungan bisnis dan ketenagakerjaan.
Bahkan, Bank Dunia menyebut CHT di Indonesia merupakan salah satu yang paling rumit di dunia dengan sistem multi-tier berdasarkan produk tembakau, jumlah produksi, dan harga jual eceran (HJE) per unit.
Meski begitu,CHT merupakan salah satu kontributor besar dalam penerimaan negara yakni Rp66,63 triliun atau tumbuh 18,84% hingga akhir Mei 2020. Melansir data Kemenkeu, kontribusi CHT terhadap penerimaan perpajakan pada 2018 dan 2019 mencapai 10,07% dan 10,67%.
Adapun, total realisasi penerimaan CHT senilai Rp164,9 triliun pada 2019. Satu dekade lalu, kontribusi CHT tercatat hanya berkisar 8% dari total penerimaan perpajakan.
Kenaikan Tarif CHT
Dalam kurun waktu lima tahun (2015 – 2020), kenaikan cukai rokok mencapai 70%. Dengan kenaikan terbesar terjadi pada 2020 yaitu 23%.
Tingginya rerata kenaikan tarif CHT per tahun tidak menyurutkan rencana pemerintah untuk terus melanjutkan peningkatan. Terlebih, dengan makin kempesnya dompet negara, pemerintah makin menggantungkan penerimaan negara pada CHT tahun depan.
Hal itu dilihat dari nota keuangan dan Rancangan Undang-Undangan (RUU) anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) 2021.
Di tengah kelesuan IHT akibat pandemi, pemerintah justru menaikan target penerimaan CHT sebesar 4,8% year on year (yoy) pada 2021 mendatang. Artinya, target CHT naik menjadi Rp172,8 triliun dari sebelumnya Rp164,9 triliun.
Padahal, Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menunjukkan produksi rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) justru kontraksi masing-masing hingga 13,3% yoy dan 24% yoy.
Namun, produksi rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) mengalami pertumbuhan hingga 12,5% yoy.
Meskipun dinilai menghimpit industri hasil tembakau (IHT), DJBC mengaku telah mempertimbangkan empat hal terkait kenaikan tarif, yaitu konsumsi, penerimaan negara, serapa tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal.
Dampak Kenaikan Cukai ke IHT
Tingginya kenaikan cukai berdampak pada turunnya volume produksi rokok dari tahun ke tahun. Hal ini belum kalkulasi prediksi akibat pandemi COVID-19, dengan kondisi saat ini, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar memperkirakan penurunan produksi hingga 40%.
“Dengan adanya kenaikan cukai, produksi kami turun hingga 15%, ditambah lagi dengan COVID-19, kami prediksi akan turun 40%,” kata Sulami
Menurut catatan Gapero, sejak 2010 sampai 2019, terjadi penurunan jumlah pabrik rokok di Indonesia dari 4.785 tersisa 487 pabrik pada 2019. Drastisnya penurunan jumlah pabrik rokok turut menyeret lemahnya penyerapan bahan baku pembuatan rokok seperti tembakau dan cengkeh lokal.
“Serapan tembakau dan cengkeh akan berkurang 30% untuk bahan baku, kasihan nasib petani,” jelas Sulami.
Dengan demikian, jumlah serapan tenaga kerja berkurang cukup signifikan. Bahkan, tarif CHT dengan rata-rata sebesar 23% saat ini berpotensi mengurangi serapan tenaga kerja hingga 26%.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2019 serapan tenaga kerja IHT mencapai 4,28 juta pekerja di industri manufaktur dan distribusinya. Tidak hanya itu, sektor tembakau juga menyerap sekitar 1,7 juta pekerja di perkebunan tembakau.
Jumlah ini menempatkan sektor tembakau menjadi sektor kelima terbesar di Tanah Air dalam hal penyerapan tenaga kerja.
Simplifikasi Tarif Cukai
Tarif cukai bukanlah satu-satunya instrumen untuk menambah penerimaan negara. Sejumlah penelitian menyebut salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah adalah simplifikasi struktur tarif CHT.
Artinya, sistem pengenaan cukai hari ini dianggap kurang optimal karena lapisan tarif yang banyak terbukti menyisakan ruang bagi pelaku industri untuk menghindarkan kewajiban membayar cukai yang semestinya.
Kabar baiknya, pemerintah kembali berniat menyederhanakan struktur tarif cukai rokok dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.
Hal ini didukung oleh Kementerian Keuangan yang telah menerbitkan PMK 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020 – 2024.
Sebelumnya, penyederhanaan struktur tarif cukai tertuang dalam PMK 146/2017 tentang tarif cukai hasil tembakau (CHT). Dalam aturan tersebut, pemerintah akan menyederhanakan dari 12 layer pada tahun 2017 dan menjadi 5 layer pada 2021.
Tujuannya, untuk mengoptimalisasi penerimaan CHT, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.
Sayangnya, kebijakan tersebut hanya berjalan satu tahun pada 2018 dan tidak dijalankan kembali. Hingga kini, struktur tarif cukai dengan 10 layer dipertahankan untuk tahun fiskal 2019.
Dampak Simplifikasi
Sekjen Transparansi International Indonesia (TII), Danang Widoyoko menyatakan “Berbagai studi telah menyarankan bahwa penyederhanaan struktur tarif cukai rokok merupakan best practice bagi pengendalian konsumsi rokok.”
Studi membuktikan, struktur tarif yang diterapkan saat ini membuka peluang dan memberikan insentif bagi perusahaan besar multinasional untuk membayar cukai lebih rendah yang pada akhirnya berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar.
Sebaliknya, kebijakan simplifikasi justru tidak berdampak signifikan bagi pabrik rokok menengah dan kecil. Selama ini mereka memang dilindungi oleh tarif yang lebih rendah, karena tergolong usaha kecil, menyerap tenaga kerja banyak, dan kandungan bahan baku lokalnya tinggi.
Kebijakan Restriktif
Di luar isu kenaikan tarif cukai dan simplifikasi, IHT kerap dihimpit oleh berbagai regulasi yang ketat. Meskipun tergolong industri strategis karena berkontribusi besar dalam penerimaan cukai, IHT justru tidak masuk dalam industri prioritas RPJMN 2020-2024. Bahkan, sejumlah pihak menilai banyak klausul yang kontraproduktif terhadap pengembangan IHT.
“Sektor IHT kerap menjadi entitas yang harus menerima aturan-aturan restriktif dengan peluang yang sangat minim untuk dapat mengajukan keringanan,” kata Maharani Hapsari, Co Chair-holder, Universitas Gadjah Mada – World Trade Organitation Chair Program dalam sebuah diskusi virtual, Selasa, 23 Juni 2020.
Di bidang non-fiskal, RPJMN mengamanatkan revisi Peraturan Pemerintah 109/ 2012 yang menekankan pada perluasan gambar kesehatan hingga 90%, melarang iklan dan promosi rokok, dan mengetatkan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Sementara di bidang fiskal, restriksi tercermin pada adanya agenda peningkatan tarif CHT yang diprediksi bakal menurunkan pangsa pasar tembakau hingga 15%.
Dengan berbagai regulasi yang ketat, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan memprediksi akan ada penurunan signifikan akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi COVID-19 yang belum usai.
Pada 2020, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan tahun 2019 atau sekitar Rp165 triliun, sementara penurunan volume produksi dari IHT justru akan turun 13-23%.
Eksternalitas Negatif
Bukan tanpa alasan, apabila IHT mendapat berbagai kebijakan yang restriktif. Tujuan utama dari kenaikan tarif CHT adalah mengurangi konsumsi dan menurunkan tingkat keterjangkauan anak dan remaja.
Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menunjukkan harga rokok murah (price effect) berpengaruh terhadap peluang anak merokok. “Price effect (harga rokok) berhubungan negatif dengan peluang anak merokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensinya,” kata Ketua Peneliti, Teguh Dartanto.
Faktanya, persentase perokok usia 10–18 tahun terus naik dari 2013 sebesar 7,2% menjadi 9,1 % pada 2018. Angka ini jauh dari rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJM) 2019 dengan target prevalensi merokok usia muda 5,2%.
Merujuk data Kementerian Kesehatan (2018), Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia dalam hal konsumsi rokok setelah China dan India. Jika 38,3% penduduk adalah perokok dan sekitar 20% di antaranya adalah remaja usia 13–15 tahun.
Di antara perokok anak, 1,5% perokok mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5-9 tahun. Sehingga Indonesia mendapat julukan baby smoker country dan 56,9% perokok memulai merokok pada usia 15-19 tahun (Riskesdas 2013).
Berdasarkan Susenas 2015, prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia (7-18 tahun) sebesar 2,7%. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi berada pada usia 16-18 tahun, namun tidak sedikit dari anak usia 7–12 tahun juga telah merokok.
Mirisnya, menurut estimasi peneliti dengan data Susenas, total perokok anak dan remaja di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa.
Hal ini membuat aturan pengendalian tembakau di Indonesia dianggap masih lemah dan berdampak pada tingginya jumlah perokok, termasuk perokok anak. Hal ini kemudian memicu masalah lain yang ujung-ujungnya menyedot penerimaan negara.
Seperti tingginya angka penyakit tidak menular di Indonesia yang kemudian berdampak pada defisitnya BPJS, sulitnya program pengentasan kemiskinan, tingginya prevalensi stunting, hingga berdampak pada kerugian ekonomi makro Indonesia sampai Rp600 triliun.
Empat Rekomendasi
Atas dasar latar belakang dan permasalahan fundamental tersebut, Bawono memaparkan sejumlah rekomendasi kebijakan CHT yang dianggap ideal untuk menyeimbangkan banyak aspek. Pertama, melanjutkan peta jalan simplifikasi strata tarif CHT yang mengacu pada PMK 146/2017.
“Simplifikasi sendiri memiliki urgensi paling tinggi dalam konteks IHT di Indonesia. Sebagai catatan pula, kekhawatiran apabila simplifikasi akan menyebabkan terjadinya oligopoli atau monopoli di dalam pasar justru kurang beralasan.”
Terlebih, apabila ditelaah lebih jauh, penurunan jumlah pabrikan IHT justru tidak disebabkan oleh simplifikasi melainkan karena regulasi lain di luar CHT. Di sisi lain, simplifikasi justru dapat mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.
Kedua, menetapkan nilai optimal atas jarak tarif CHT dan HJE. Setelah simplifikasi dilakukan, penentuan jarak tarif antara CHT dan HJE menjadi faktor yang dapat mendorong stabilitas dan tentunya akan menciptakan iklim usaha yang berkepastian.
Utamanya memperkecil jarak CHT dan HJE golongan 1 dan golongan 2 untuk rokok mesin. Kemudian memperlebar jarak tarif CHT dan HJE antara rokok mesin dengan rokok tangan untuk melindungi tenaga kerja IHT.
Ketiga, menghapus diskrepansi rasio HTP dan HJE untuk mengoptimalkan fungsi pengendalian konsumsi produk tembakau. Keempat, menjamin rencana simplifikasi struktur CHT nasional yang telah disusun dalam Perpres No. 18/2020 dan PMK 77/2020 dapat diimplementasikan secara efektif ke dalam suatu blueprint kebijakan CHT.