<p>Presiden Joko Widodo menghapus limbah batu bara atau dikenal dengan fly ash dan bottom ash (FABA), dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Kebijakan penghapusan limbah ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. / Ilustrasi batu bara. Sumber: http://www.apbi-icma.org/</p>

Berawal dari Jerman, Bagaimana Batu Bara Diubah Menjadi Bahan Bakar Energi?

  • JAKARTA – Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan bagaimana awalnya sebuah produk energi batu bara diubah menjadi bahan bakar mobil dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). Berawal dari sejarah sebuah negara dalam memenuhi kebutuhan energi, ia mengambil contoh Jerman. “Mari kita ambil contoh Jerman. Pada perang dunia pertama, mereka terlibat perang […]

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan bagaimana awalnya sebuah produk energi batu bara diubah menjadi bahan bakar mobil dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Berawal dari sejarah sebuah negara dalam memenuhi kebutuhan energi, ia mengambil contoh Jerman. “Mari kita ambil contoh Jerman. Pada perang dunia pertama, mereka terlibat perang dengan Rusia, Perancis dan Inggris. Pada perang dunia kedua, Jerman terlibat perang dengan hampir seluruh negara Eropa,” tulisnya dalam akun Instagram resmi @arcandra.tahar, Senin, 1 Maret 2021.

Saat itu, sebagaimana kita ketahui, negara-negara yang terlibat perang tidak memiliki cadangan minyak dan gas yang cukup untuk menyuplai peralatan mereka. Arcandra pun mempertanyakan kemungkinan adanya penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari negara tetangga, untuk menghidupkan mesin-mesin perang.

Terkait hal itu, memang tidak ada yang tahu secara pasti. Namun, jika dilihat berdasarkan Sumber Daya Alam (SDA), Jerman disebut kaya akan cadangan batu bara. Jumlahnya kurang lebih 36 miliar ton atau 3% dari total cadangan batu bara di dunia.

“Bahkan, jika dibandingkan dengan negara lain, maka Jerman menempati urutan ketujuh di bawah Amerika Serikat (AS), Rusia, Australia, China, India dan Indonesia,” kata Arcandra.

Dalam perjalanannya, Jerman pun kemudian mengembangkan teknologi Coal to Liquid (CTL) yang dapat mengubah batu bara menjadi bahan bakar sintetik berupa gasoline.

Bahan bakar ini dimanfaatkan untuk pesawat terbang dan kendaraan bermotor, gasoil (solar), lubricant oil dan waxes. Alhasil dengan teknologi CTL tersebut, Jerman mampu memenuhi 90% kebutuhan bahan bakar pesawat pesawat dan 50% kebutuhan BBM pada 1940-an.

Teknologi CTL sendiri mulai dikembangkan pada awal abad-20 oleh Franz Fischer and Hans Tropsch. Keduanya merupakan inventor dengan basis Indirect Coal Liquefaction (ICL) technology. Prosesnya pun lebih dikenal dengan istilah Fischer-Tropsch systesis (FT).

Seiring dengan perkembangannya, muncul teknologi CTL baru dengan proses Direct Coal Liquefation (DCL) yang mampu menghasilkan gasoline.

“Dengan adanya dua teknologi ini, maka berkibarlah Jerman sebagai negara yang mampu memenuhi kebutuhan energi mereka secara mandiri,” ungkapnya.

Arcandra bilang, dengan penguasaan teknologi di bidang energi serta sumber daya batu bara yang besar, Jerman mampu mengalahkan negara lain pada waktu itu. Negara ini, lanjutnya, telah menunjukkan bahwa kekayaan SDA yang didukung oleh penguasaan teknologi, bisa mengantarkannya sebagai negara maju dan adidaya.