Ilustrasi pajak.
Nasional

Berawal dari Upeti, Pajak Kini Sumbang Penerimaan Negara Rp2.000 Triliun

  • Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.988,9 triliun. Sampai dengan Semester I-2024, realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp894,84 triliun.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Pajak merupakan kunci penting mencapai visi Indonesia sebagai negara maju. Tanpa penerimaan pajak yang memadai, tujuan tersebut tidak akan tercapai. 

"Cita-cita yang ingin kita capai untuk menjadi negara maju, yang sejahtera dan adil tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan  dalam kegiatan Kampanye Simpatik Perpajakan Spectaxular 2024, dilansir Senin, 15 Juli 2024.

Pajak di Indonesia memiliki sejarah panjang. Bahkan sejak wilayah yang akhirnya menjadi Indonesia ini dikuasai kerajaan dan kolononial.

Sejarah Singkat Pajak di Indonesia

Sejarah penerimaan pajak Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan dari masa ke masa. Sistem pungutan mirip pajak telah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan, sebelum kedatangan penjajah Eropa dan Jepang. 

Pada era kerajaan, rakyat menyerahkan upeti kepada raja sebagai bentuk pemberian wajib, dengan balasan berupa perlindungan dan keamanan. Beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram bahkan menerapkan konsep pembebasan pajak, terutama untuk lahan yang disebut tanah perdikan.

Ketika VOC berkuasa, mereka menerapkan berbagai jenis pajak seperti Pajak Rumah, Pajak Usaha, dan Pajak Kepala, terutama pada pedagang Tionghoa dan asing. 

Selama masa Gubernur Jenderal Daendels, pajak pintu gerbang dan pajak penjualan di pasar mulai diberlakukan. Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris memperkenalkan landrent stelsel, yang menjadi cikal bakal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), mengharuskan petani membayar pajak atas tanah yang mereka gunakan.

Pada masa kolonial Belanda, pajak penghasilan mulai diterapkan pada penduduk pribumi dan non-pribumi, termasuk business tax dan tax patent duty. Pajak penghasilan diatur dalam Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908 dengan tarif 2% dari pendapatan. 

Selama pendudukan Jepang yang singkat (sekitar 3,5 tahun), fokus pajak beralih ke pendanaan perang, dengan rakyat dibebani kewajiban Romusha dan berbagai pungutan yang dianggap sebagai pajak.

Pajak di Era Orde Baru

Pada era Orde Baru, ketika Indonesia tengah membangun pondasi ekonominya, penerimaan pajak pada tahun 1983 tercatat sebesar Rp13 triliun. 

Pada masa itu, nilai tukar rupiah berada di angka Rp970 per dolar Amerika Serikat. Kala itu Soeharto tengah memperkuat basis ekonomi melalui kebijakan swasembada pangan dan pembangunan infrastruktur.

Pada masa reformasi, Indonesia mengalami gejolak ekonomi, salah satunya ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp16.700 per dolar Amerika Serikat. 

Meskipun menghadapi tantangan ekonomi yang berat, penerimaan pajak Indonesia tetap menunjukkan peningkatan. Pada periode 1998 hingga menjelang tahun 2000, penerimaan pajak mencapai sekitar Rp400 triliun. 

Realisasi Pajak Pasca-Reformasi

Kondisi ekonomi global memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian dalam negeri. Fluktuasi harga komoditas internasional, seperti minyak dan bahan pangan, dapat memengaruhi biaya produksi dan harga barang di dalam negeri. 

Perubahan kebijakan moneter di negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, juga dapat mempengaruhi arus modal masuk dan keluar, yang berdampak pada nilai tukar mata uang lokal dan stabilitas finansial, termasuk didalamnya besaran penerimaan pajak.

Dilansir Laporan Realisasi Pendapatan Negara yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pada tahun 2022, penerimaan pajak mencapai Rp2.034 triliun. Di tahun 2023, realisasi penerimaan pajak meningkat menjadi Rp2.118 triliun.

Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.988,9 triliun. Sampai dengan Semester I-2024, realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp894,84 triliun atau sekitar 44,9% dari target yang ditetapkan dalam APBN 2024.

"Sekarang teman-teman Direktorat Jenderal Pajak bertanggung jawab di undang-undang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk mencapai target Rp1.988,9 triliun,"  tambah Sri Mulyani.

Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengklaim pihaknya tetap optimistis penerimaan pajak tahun 2024 tak akan kalah dari realisasi tahun-tahun sebelumnya.

“Seperti yang saya sampaikan, Rp1.988 triliun bukan suatu target yang mustahil untuk dicapai, Insya Allah kita akan jalankan. Oleh karena itu, kami menggunakan tagline Hari Pajak yang hari ini kita kumpul bersama tetap tegar melangkah walaupun tantangan dan hambatan menghampar di depan kita, ” terang Suryo Utomo, di acara yang sama.