t_500x300.jpg
Nasional

Berikut Sederet Fakta Tradisi Gelap Pembulian Dokter, Undip Lepas Tangan?

  • Angga Rian, seorang mahasiswa senior PPDS Anestesi, justru menganggap pungutan tersebut bukan pemalakan, melainkan bentuk gotong royong antar mahasiswa, padahal nilai pemalakan tersebut mencapai Rp20 - Rp40 Juta

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Kasus perundungan yang dialami almarhum dr. Aulia Risma Lestari, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), membuka sisi kelam dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. 

Keluarga almarhumah secara resmi melaporkan sejumlah senior di program tersebut atas tuduhan bullying, intimidasi, hingga pemerasan bernilai puluhan juta yang mengakibatkan tragedi. 

Laporan ini tercatat di kepolisian dengan nomor LP/B/133/IX/2024/Spkt/Polda Jawa Tengah. Insiden ini memicu respons dari pemerintah, termasuk Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, yang segera menghentikan sementara Program Anestesi di RSUP Dr. Kariadi, tempat dr. Aulia menempuh pendidikan.

“Maka disampaikan kepada Saudara untuk menghentikan sementara program studi anestesi di RSUP Dr Kariadi sampai dengan dilakukannya investigasi dan langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh jajaran Direksi Rumah Sakit Kariadi dan FK UNDIP” ujar Surat dari kementerian Kesehatan yang ditunjukan pada Program Studi.

Tradisi Gelap Gelar Dokter yang Dianggap “Pintar”

Perundungan yang dialami dr. Aulia ternyata berlangsung lama dan sistematis, dengan tekanan fisik dan mental yang luar biasa. Jadwal kerjanya yang ekstrem, dari pukul 3 pagi hingga hampir pukul 2 dini hari setiap harinya, menyebabkan kelelahan fisik dan mental yang parah. 

"Beban kerja PPDS Anestesi di RS Kariadi terlalu berat. Jam kerja normal tanpa giliran jaga adalah 18 jam per hari. Masuk jam 6 pagi, pulang jam 12 malam, Kalau bisa pulang jam 11 malam artinya pulang cepat," terang postingan viral yang beradar dilaman X dengan nama akun Jo.

Upaya keluarga untuk melaporkan situasi ini ke pihak fakultas tidak mendapatkan respons serius dari Undip, hingga akhirnya tragedi pun terjadi.

Kasus ini juga mengungkap adanya tekanan finansial dalam bentuk pungutan tidak resmi yang dialami para peserta PPDS. Berdasarkan pengakuan keluarga, pungutan yang dibebankan pada dokter Aaulia berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan. 

Praktik ini diwariskan dari senior ke junior dan dianggap "normal" oleh sebagian pihak, meskipun banyak yang menilai sebagai bentuk pemerasan.

CEO Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), menilai praktik ini sebagai bentuk kekerasan atau bullying finansial yang tidak dapat dibenarkan. 

Praktek Pemalakan “Dibenarkan” Senior, Undip Lepas Tangan?

Undip bahkan sempat membantah adanya kasus perudungan. Hasil investigasi internal undip menyatakan kematian Aulia tidak terkait dengan dugaan perundungan. Undip hanya menjelaskan Aulia memiliki masalah kesehatan yang mempengaruhi proses belajarnya.

Angga Rian, seorang mahasiswa senior PPDS Anestesi, justru menganggap pungutan tersebut bukan pemalakan, melainkan bentuk gotong royong antar mahasiswa. Ia juga menyatakan besaran iuran berbeda-beda untuk setiap angkatan.

"Makannya disediakan oleh adiknya yang paling kecil, agar yang di kamar operasi tetap bisa menjalani tugas untuk pembiusan, karena next semester, sudah ada junior baru, kita tidak iuran lagi," ungkap Angga, Senin, 2 September 2024 yang lalu.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip, Prof. Zainal Muttaqin, tidak membantah adanya iuran ini, ia juga mengklaim dana tersebut digunakan untuk keperluan kas mahasiswa PPDS. 

"Dia (Aulia Risma) mengumpulkan uang Rp30 juta per bulan dari teman-temannya, bukan untuk seniornya, tapi untuk makan mereka sendiri," terang Guru besar Fakultas Kedokteran Undip, Prof Zainal Muttaqin, Kamis, 5 September 2024

Juru Bicara Undip, Sugeng Ibrahim, menjelaskan bahwa aturan resmi soal iuran PPDS telah ditetapkan pada 24 Maret 2024, dengan batas maksimal Rp300.000 per bulan per mahasiswa. 

Namun, biaya untuk kegiatan seperti Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) tetap menjadi tanggung jawab mahasiswa di bawah koordinasi ketua program studi.

Ratusan Kasus Bullying Dokter

Laporan Kemenkes mengungkap bahwa kasus serupa juga terjadi di berbagai institusi pendidikan kesehatan di Indonesia. Dari 401 laporan perundungan yang diterima Kemenkes, 237 di antaranya terjadi di rumah sakit di bawah pengawasan Kemenkes. Hal ini menunjukkan betapa miris dan seriusnya masalah perundungan di lingkungan pendidikan kesehatan.

Kementerian Kesehatan dan pihak Universitas Diponegoro kini tengah menginvestigasi kasus ini. Jika terbukti terjadi perundungan, sanksi berat akan dijatuhkan, termasuk pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) bagi pelaku, serta tindakan tegas terhadap pejabat akademik yang dinilai lalai.

Kasus ini menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Tradisi perundungan dan tekanan finansial yang dianggap "biasa" harus segera diakhiri. 

Semua pihak, mulai dari institusi pendidikan, pemerintah, hingga masyarakat, perlu bekerja sama untuk menghapus praktik berbahaya ini. Nyawa yang hilang akibat perundungan tidak seharusnya menjadi bagian dari perjalanan pendidikan.