Ilustrasi Evergrande.
Industri

Berkaca dari Kasus Evergrande, Ini Pelajaran Penting bagi Perusahaan Properti Indonesia

  • Perusahaan properti raksasa asal China, Evergrande Group dikabarkan bakal pailit. Nasibnya berada di ujung tanduk lantaran terindikasi gagal bayar utang sebesar US$300 miliar atau setara Rp4.275 triliun
Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA - Perusahaan properti raksasa asal China, Evergrande Group dikabarkan bakal pailit. Nasibnya berada di ujung tanduk lantaran terindikasi gagal bayar utang sebesar US$300 miliar atau setara Rp4.275 triliun (asumsi kurs Rp 14.251 per dolar Amerika Serikat).

Santer diberitakan  kekacauan keuangan yang terjadi di Evergrande sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Penyebabnya, mayoritas pembiayaan kegiatan bisnis di perusahaan tersebut mayoritas berasal dari pinjaman.

Bahkan, minggu ini merupakan jatuh tempo pembayaran bunga utang yang harus dibayarkan ke beberapa bank. Nominalnya mencapai lebih dari US$100 juta untuk dua obligasi.

Tercatat sebagai perusahaan properti raksasa di negara adidaya, nyatanya Evergrande bisa mengalami krisis yang tak main-main. Lantas, bagaimana agar hal serupa tak terjadi di Indonesia?

Pengamat properti Panangian Simanungkalit menyebut, Indonesia sendiri sebetulnya lebih berpengalaman mengatasi krisis. Hal ini tak lepas dari peristiwa krisis keuangan pada 1998. Pada waktu itu, utang Indonesia hingga kredit macet mencapai di atas 50%.

Namun, pada saat krisis keuangan berikutnya yang melanda pada 2008, pengusaha properti di Indonesia dinilai sudah bisa mempelajari cara mengendalikan utang. Utamanya agar tidak berpotensi membuat perusahaan bangkrut.

“Pemicu dari kasus Evergrande ini salah satunya karena China yang kurang transparan dalam pemberian kredit dan monitoring perusahaan,” ujarnya kepada Tren Asia, Rabu, 22 September 2021.

Selama ini, lanjutnya, permasalahan Evergrande dipandang masih sepele. Hal ini dipengaruhi oleh predikat China sebagai negara dengan ekonomi terbesar setelah Amerika Serikat (AS) sehingga dianggap bisa teratasi.

Adapun di Indonesia, ia menyebut utang paling banyak di sektor properti berasal dari pengembang besar, seperti CTRA, APLN, dan BSDE. Namun, utang ini dinilai masih lebih aman dibandingkan dengan pengembang properti di China.

Selain itu, Panangan menjelaskan pemicu terbesar dari kasus gagal bayar di perusahaan properti dipengaruhi oleh cash flow yang tidak menutupi pengeluaran bisnis. Maka, setiap perusahaan harus berhati-hati untuk melakukan ekspansi.

“Misalnya sebuah perusahaan memproyeksikan pendapatan dari sebuah proyek yang sangat besar, ternyata tidak terjadi,” katanya.

Jadi, proyeksi yang ditentukan harus realistis sehingga bisa belajar dari kasus krisis keuangan yang pernah terjadi, baik krisis 1998 maupun krisis akibat pandemi COVID-19.

Kemudian, ekspansi besar-besaran juga membuat harga properti di China juga relatif tinggi.  Di sisi lain, pengendalian moneter di China dianggap masih lemah dan tidak transparan. Maka, pemerintah harus menguatkan kebijakan tersebut.

Terkait hal ini, pengendalian kebijakan moneter di Tanah Air dinilai masih lebih baik. Begitu ada kenaikan harga properti, Bank Indonesia (BI) langsung merespons dengan mengetatkan down payment (DP). “Misalnya DP awal 15 persen, dinaikkan menjadi 20-40 persen,” tambahnya.

Sikap ini dianggap lebih bijak dan konservatif dalam kebijakan pengendalian properti ketimbang Pemerintah China. Dengan demikian, potensi crash dari bibit permasalahan sektor properti di Indonesia bisa dikendalikan.