<p>Warga membeli makanan untuk berbuka puasa di Pasar Takjil Benhil, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Berkah Bulan Puasa (Serial 1): Harga Pangan Terungkit Tanda Ekonomi Bangkit

  • Indonesia dan masyarakat muslim dunia diprediksi akan melalui bulan Ramadan 1442 Hijriyah masih dengan situasi pandemi COVID-19. Menjelang bulan Ramadan, harga komoditas pangan di Tanah Air mulai merangkak naik.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Indonesia dan masyarakat muslim dunia diprediksi akan melalui bulan Ramadan 1442 Hijriyah masih dengan situasi pandemi COVID-19. Menjelang bulan Ramadan, harga komoditas pangan di Tanah Air mulai merangkak naik.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy memandang, perbaikan ekonomi akan mengangkat daya beli masyarakat pada bulan puasa tahun ini. Hal itu yang kemudian membuat harga komoditas Indonesia merangkak naik.

“Daya beli yang membaik tergambar pada harga yang ikut meningkat, apalagi pada komoditas pangan strategis. Saya kira ini menjadi wajar dan pasokan pangan kita tahun ini relatif aman untuk menyambut bulan Ramadan,” kata Yusuf saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com, Kamis 1 April 2021.

Bulan Ramadan, kata Yusuf, akan mengerek angka inflasi. Menurut riset CORE Indonesia, proyeksi inflasi pada April 2021 mencapai 1,7% jika dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Sementara, angka inflasi diperkirakan berada pada angka 1,42% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Geliat perekonomian yang meningkat juga dapat dilihat dari volume impor barang konsumsi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), barang konsumsi mengalami kenaikan impor tertinggi sebesar 43,59% dari US$849,6 juta pada Februari 2020 menjadi US$1,2 miliar pada Februari 2021.

“Indikasi itu menunjukan masyarakat kita secara ekonomi sudah lebih baik dibanding Ramadan tahun lalu. Tapi tetap perlu antisipasi pasokan pada komoditas pangan strategis,” terang Yusuf.

Antisipasi Pedasnya Harga Cabai
Pedagang memilah cabai di kiosnya di Pasar Warung Buncit, Jakarta Selatan, Selasa, 9 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Yusuf menyebut cabai menjadi komoditas yang perlu sorotan pemerintah menjelang Ramadan ini. Hal ini disebabkan perubahan iklim yang berakibat pada gangguan panen di tingkat petani.

“Secara demand kita sudah menunjukan perbaikan, tapi suplai komoditas ini (cabai) terganggu oleh perubahan iklim. Ini yang perlu antisipasi khusus kenaikan harga karena akan lebih dinamis” ujar Yusuf.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional cabai merah telah mengalami kenaikan selama sepekan terakhir dari Rp49.300 per kilogram pada 24 Maret 2021 menjadi Rp50.200 per kilogram pada 31 Maret 2021.

Harga yang lebih ‘pedas’ ada pada cabai rawit merah. Data PIHPS menunjukkan delapan provinsi mengalami kenaikan harga hingga dobel digit pada Februari hingga Maret 2021 di pasar tradisional. Provinsi Sulawesi Barat mencatatkan kenaikan tertinggi sebesar 39,7%.

Provinsi lain dengan kenaikan harga tertinggi berikutnya adalah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Tenggara yang naik masing-masing sebesar 26,23% dan 22,87% mtm. Menurut data PIHPS Nasional, rerata harga cabai rawit merah di Indonesia menyentuh angka Rp88.800 per kilogram hingga Rabu, 31 Maret 2021.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut lonjakan itu terjadi akibat gagal panen dari daerah pemasok cabai besar di Indonesia. Menurut catatan Kemendag, penghasil cabai di Tuban, Kediri, dan Blitar mengalami kerusakan panen hingga 40%. Kerusakan panen di Wajo, Sulawesi Selatan bahkan menyentuh angka 70%.

“Jangan sampai produksi yang sudah terganggu diperparah dengan distribusi yang bermasalah. Karena akan sangat dinamis sekali, ini perlu jadi perhatian pemerintah untuk Ramadan tahun ini,” jelas Yusuf.

Stok Beras Cukup
Pekerja menata stok beras di Gudang Bulog Kanwil DKI dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis, 18 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Hal senada diungkapkan oleh Ketua Wahana Masyarakat Tani Nelayan Indonesia (WAMTI) Agusdin Pulungan. Menurut Agusdin, masalah distribusi ini yang dapat mengacaukan pasokan pangan yang nilainya sudah sangat siap di tahun ini.

“Pemerintah sudah confidence di Ramadan tahun ini. Tinggal bagaimana distribusi bisa disalurkan tepat waktu agar tidak terjadi rush di pasar,” ucap Agusdin saat dihubungi melalui sambungan telepon belum lama ini.

Kendati demikian, intervensi harga pangan beras mesti tetap dioptimalkan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sebagai antisipasi awal lonjakan harga.

Perum Bulog memiliki target penyaluran kebutuhan riil beras melalui operasi pasar sebesar 600.000 ton. Sepanjang Januari hingga Maret 2021 penyaluran beras sudah mencapai 140.000 ton atau rata-rata 50.000 ton per bulan.

“Memaksimalkan operasi pasar itu adalah terapi untuk menekan sekaligus harga. Kalau sudah sampai rush, susah untuk mengendalikannya,” kata Agusdin.

Perum bulog memiliki Cadangan Beras Pemerintah (CBP) hingga Juni 2021 sebesar 1 juta ton. Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut angka ini akan terus naik hingga 1,4 juta ton pada Mei 2021.

“Angka yang sudah ada saat ini sudah sangat cukup dan bisa dipasok dari petani lokal. Tidak ada celah untuk impor, petani kita bisa memproduksi kebutuhan nasional,” tegas Agusdin.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menekankan Indonesia berkomitmen untuk terus menggenjot produksi pangan tahun ini. Kendati demikian, swasembada belum bisa direalisasikan pada komoditas daging sapi dan kerbau pada Ramadan tahun ini.

Harus Impor Sapi (Lagi)
Daging sapi / Pertanian.go.id

Pasokan pangan yang relatif aman ini dipengaruhi keputusan impor pemerintah. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Syailendra mengatakan pemerintah telah memastikan pasokan 121.110 ton daging sapi dan kerbau sepanjang 2021 ini.

“Rencana importasi daging harus bisa masuk sesuai jadwal, terlebih pada periode lonjakan kebutuhan di Ramadan dan Idulfitri,” katanya dalam dialog Mahalnya Harga Sapi dan Kerbau, Apa Solusinya? yang dilansir dari YouTube HIPMI TV, Kamis 1 April 2021.

Berdasarkan hitung-hitungan Kemendag, volume impor itu untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan daging sapi dalam tiga bulan ke depan. Kebutuhan daging sapi naik secara berkala dari 52.156 ton pada Maret menjadi 59.979 ton pada April hingga mencapai puncak pada Mei 2021 sebesar 76.769 ton.

Secara keseluruhan Kemendag memperkirakan kebutuhan daging sapi dan kerbau pada 2021 mencapai 696.956 ton.

Kebutuhan ini diklaim Kemendag tidak dapat dipenuhi dari peternak lokal. Menurut data BPS, rata-rata produksi daging sapi nasional dari 2015 hingga 2019 mencapai 499.980 ton. Angka itu mencerminkan rata-rata produksi yang masih di bawah jumlah kebutuhan nasional.

Kemendag mencatat ada 14 juta sapi peternak lokal di Indonesia pada tahun ini. Jumlah sapi siap potong mencapai 4,5 juta ekor.

“Kalau 4,5 juta ekor disembelih akan menghasilkan 700.000 ton daging yang mana mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tapi tidak semudah itu dalam memastikan dan menyiapkan sapi itu siap dipotong,” terang Syailendra.

Ketidakmampuan itu membuat pemerintah akhirnya membuka keran impor daging sapi menjelang Ramadan 2021. Pasokan impor 34.000 ton daging sapi dan kerbau yang akan masuk ke Indonesia pada April hingga Mei 2021.  (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Berkah Bulan Puasa.”