Industri

Berkontribusi Besar, Industri Hasil Tembakau Tetap Terkekang Regulasi

  • JAKARTA – Meskipun tergolong industri strategis karena berkontribusi besar dalam penerimaan cukai, yakni Rp66,63 triliun atau tumbuh 18,84% hingga akhir Mei 2020. Industri Hasil Tembakau (IHT) justru tidak masuk dalam industri prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN 2020 – 2024 yang disahkan pada Februari lalu, sejumlah pihak menilai banyak klausul yang kontraproduktif […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Meskipun tergolong industri strategis karena berkontribusi besar dalam penerimaan cukai, yakni Rp66,63 triliun atau tumbuh 18,84% hingga akhir Mei 2020. Industri Hasil Tembakau (IHT) justru tidak masuk dalam industri prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Dalam RPJMN 2020 – 2024 yang disahkan pada Februari lalu, sejumlah pihak menilai banyak klausul yang kontraproduktif terhadap pengembangan IHT.

“Sektor IHT kerap menjadi entitas yang harus menerima aturan-aturan restriktif dengan peluang yang sangat minim untuk dapat mengajukan keringanan,” kata Maharani Hapsari, Co Chair-holder, Universitas Gadjah Mada – World Trade Organitation Chair Program dalam sebuah diskusi virtual, Selasa, 23 Juni 2020.

Di bidang non-fiskal, RPJMN mengamanatkan revisi Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 yang menekankan pada perluasan gambar kesehatan hingga 90%, melarang iklan dan promosi rokok, dan mengetatkan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Sementara di bidang fiskal, restriksi tercermin pada adanya agenda penyederhanaan struktur tarif CHT dan peningkatan tarif CHT yang diprediksi bakal menurunkan pangsa pasar tembakau hingga 15%.

Tidak Partisipatif

Tidak hanya kebijakan yang restriktf, IHT juga tidak memiliki bayak ruang untuk mengajukan keringanan. Pasalnya, dalam proses pembuatan kebijakan untuk IHT, ada banyak prosedur yang tidak transparan sehingga berpotensi pada praktik pelanggaran, seperti kurangnya transparansi informasi kepada seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan dan ketiadaan proses partisipatif.

“Argumen tentang adanya tendensi prinsip keterbukaan yang diabaikan salah satunya berangkat dari studi kasus kami yakni perumusan rencana revisi PP 109 Tahun 2012,” tambah Maharani.

Dari data riset yang dipaparkan Maharani, hingga saat ini belum ada mufakat di antara stakeholders yang berkepentingan, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, komunitas rantai pasok IHT, dan Kementerian Perindustrian.

Diskusi yang berjalan sendiri-sendiri, serta posisi dan klaim yang saling berseberangan antara pemangku kepentingan dinilai sangat menghambat terbentuknya kebijakan yang inklusif bagi kelangsungan industri. Dampaknya, hasil kebijakan bisa sangat bias dan menimbulkan favoritism terhadap kelompok tertentu.

“Seringnya, argumen dasar kebijakan kontrol IHT bersumber dari adopsi norma internasional tanpa konteks lokal. Padahal, jika mengacu pada standar prosedur perumusan kebijakan publik, harus ada tiga dimensi yang dipenuhi yakni transparansi, partisipasi dan dukungan bukti.”

Dengan berbagai regulasi yang ketat, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan memprediksi akan ada penurunan signifikan akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi COVID-19 yang belum usai. Pada 2020, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan tahun 2019 atau sekitar Rp165 triliun, sementara penurunan volume produksi dari IHT justru akan turun 13-23%.

Di tengah tekanan pandemi COVID-19, Henry berharap pemerintah tidak akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang justru menghambat recovery industry seperti kenaikan cukai, simplifikasi struktur cukai, dan revisi PP 109/2012.

“Pemerintah diharapkan membantu sepenuhnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan pabrikan baik secara kualitas, kuantitas, varietas dan kontinuitas,” ujar Henry.

Untuk itu, Maharani menyampaikan pemerintah harus proaktif dalam mendengarkan masukan dalam proses pembuatan kebijakan. Tingginya tingkat partisipatif publik dan transparansi yang baik diharapkan akan mencapai kebijakan publik yang betul-betul inklusif dan dipatuhi.

“Akan lebih adil rasanya jika suara-suara dari pelaku yang terdampak langsung bisa didengarkan agar mencapai kebijakan yang rasional dan implementatif, tidak hanya reaktif,” tutur dia.