Dunia

Bernilai 4 Kali Lipat dari PDB Indonesia, China Incar Logam Tanah Jarang Afghanistan

  • Afghanistan diperkirakan memiliki triliunan dolar logam tanah jarang (LTJ). Kekayaan sumber daya mineral inilah yang memantik negara-negara adikuasa, terutama China, untuk menginvestasikan uangnya di negara itu.
Dunia
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA -- Afghanistan diperkirakan memiliki triliunan dolar logam tanah jarang (LTJ). Kekayaan sumber daya mineral inilah yang memantik negara-negara adikuasa, terutama China, untuk menginvestasikan uangnya di negara yang kini dipimpin Taliban itu.

China, yang berbatasan langsung dengan Afghanistan, sejak bulan lalu berupaya mendekati pemimpin Taliban, berjanji menciptakan hubungan perdagangan yang terbuka dengan tetangganya.

Mengutip CNBC, mineral dan LTJ Afghanistan diperkirakan bernilai antara US$1 triliun dan US$3 triliun pada 2020, menurut sebuah laporan di majalah berita The Diplomat.

Total aset mineral Afghanistan sebesar US$4 triliun setara Rp57.608 triliun. Jumlah aset mineral negara di Asia Selatan ini hampir empat kali Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2020 sebesar Rp15.434,2 triliun.

"Ini harus menjadi inisiatif internasional untuk memastikan bahwa jika ada negara yang setuju untuk mengeksploitasi mineralnya atas nama Taliban, hanya melakukannya di bawah kondisi kemanusiaan yang ketat di mana hak asasi manusia, dan hak-hak perempuan dipertahankan dalam situasi tersebut," ujar
Shamaila Khan, direktur utang pasar negara berkembang di AllianceBernstein.

Menurut dia, Afghanistan memiliki unsur LTJ seperti lantanum, serium, neodymium, dan urat aluminium, emas, perak, seng, merkuri, dan lithium.  

LTJ ini biasanya digunakan dalam segala hal mulai dari elektronik hingga kendaraan listrik, dan satelit serta pesawat terbang.

"Jadi harus ada tekanan pada China jika mereka akan melakukan aliansi dengan Taliban untuk menghasilkan bantuan ekonomi bagi mereka, bahwa mereka melakukannya dengan persyaratan internasional," kata Khan.

Dia menanggapi pertanyaan tentang motivasi komersial di balik persetujuan China kepada Taliban sehari setelah para militan mengambil alih negara itu pada 15 Agustus, mengingat mineral mentah bernilai triliunan dolar.

China Siap Ambil Peran

Hanya beberapa jam setelah Taliban menguasai Afghanistan, seorang juru bicara kementerian luar negeri China mengatakan negaranya siap untuk "kerja sama persahabatan dengan Afghanistan."

"Atas dasar menghormati sepenuhnya kedaulatan Afghanistan dan kehendak semua faksi di negara itu, China telah mempertahankan kontak dan komunikasi dengan Taliban-Afghanistan dan memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan penyelesaian politik masalah Afghanistan," kata juru bicara Hua Chunying pada konferensi pers pada 16 Agustus 2021.

Menurut Hua, Taliban mengatakan dalam beberapa kesempata mereka "menantikan partisipasi China dalam rekonstruksi dan pembangunan Afghanistan."

"Kami siap untuk terus mengembangkan hubungan bertetangga yang baik dan kerja sama yang bersahabat dengan Afghanistan dan memainkan peran konstruktif dalam perdamaian dan rekonstruksi Afghanistan," katanya.

Pada akhir Juli lalu, sebelum serangan terbaru Taliban di Afghanistan, Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu dengan delegasi yang dipimpin kepala komite politik Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar di Tianjin.

Media pemerintah China dalam beberapa hari terakhir tampaknya mengkampanyekan sentimen serupa dengan Kemlu China.

Satu hal yang paling mungkin adalah bahwa China mau berkontribusi pada rekonstruksi dan pembangunan pasca-perang, mendorong proyek-proyek di bawah Belt and Road Initiative (BRI) milik China.

BRI adalah rencana investasi infrastruktur yang sangat besar untuk membangun jalur kereta api, jalan raya, laut, dan lainnya yang membentang dari China hingga Asia Tengah, Afrika, dan bahkan sampai ke Eropa.

Secara global, China mendominasi pasar LTJ. Sekitar 35% dari cadangan global LTJ berada di China, menjadi yang terbesar di dunia, menurut Survei Geologi Amerika Serikat.

China juga merupakan mesin pertambangan, memproduksi 120.000 metrik ton atau 70% dari total tanah jarang pada 2018, dibandingkan AS yang menambang 15.000 metrik ton tanah jarang di tahun itu.

Dalam perang dagang dengan AS yang dimulai pada Maret 2019, China menggunakan tanah jarang sebagai ancaman utama ke Presiden Donald Trump.

AS sangat bergantung pada China untuk produk tanah jarang pada 2019, dimana China mengekspor 80% kebutuhan AS.

Selama pendudukan di Afghanistan, AS memang tidak konsern pada pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan di negara itu, alih-alih membentuk pemerintahan boneka Afghanistan di bawah kendalinya.

AS menaruh perhatian besar pada pembangunan sumber daya manusia, kesehatan dan serangkaian strategi keamanan untuk menahan gempuran Taliban usai digulingkan tahun 2001.*