Bertahun-Tahun Jalankan Kekerasan Ekstrem Selama Menguasai Indonesia, Perdana Menteri Belanda Minta Maaf
- Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte meminta maaf pada Indonesia setelah menemukan fakta “kekerasan sistematis dan ekstrem” oleh tentara Belanda pada Indonesia pada akhir Perang Dunia Kedua.
Dunia
AMSTERDAM - Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte meminta maaf pada Indonesia setelah menemukan fakta “kekerasan sistematis dan ekstrem” oleh tentara Belanda pada Indonesia pada akhir Perang Dunia Kedua.
Penyelidikan ini adalah hasil tuntutan kerabat dan penyintas kekejaman militer Belanda kepada pemerintah untuk menilai kembali tindakan militer selama konflik di Indonesia, seperti dikutip TrenAsia.com dari AP News pada 18 Februari 2022.
Penelitian ini dimulai pada 2017 dan didanai oleh Belanda sebagai bagian dari upaya mencari tahu lebih dalam masa lalu kolonial yang brutal di Indonesia.
- Pemerintah Naikkan Plafon KUR Jadi Rp373,17 Triliun Hingga Juni 2022
- Targetkan Kredit UMKM 30 Persen Setara Rp1.800 Triliun, Pemerintah Dorong BRI Jadi Pemain Utama
- Bayi Hiu Hantu Langka Ditemukan di Selandia Baru
“Kami harus menerima kenyataan memalukan itu. Saya meminta maaf sedalam-dalamnya kepada rakyat Indonesia atas nama pemerintah Belanda hari ini,” ujar Perdana Menteri Rutte dalam konferensi pers pada hari Kamis, 17 Februari 2022 di Amsterdam.
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945 setelah kekalahan Jepang yang sedang menguasai negara itu selama Perang Dunia Kedua.
Tetapi Belanda ingin bertahan di bekas jajahannya dan mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan kemerdekaan. Sekitar 100.000 rakyat Indonesia tewas sebagai akibat langsung dari perang itu.
Tentara Belanda membakar desa-desa dan melakukan penahanan masal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-49, seperti dikutip dari Al-Jazeera.
Bahkan aksi itu didukung oleh pemerintah Belanda secara diam-diam, menurut kesimpulan peneliti Belanda dan Indonesia setelah melakukan investigasi selama empat setengah tahun.
Sejarawan Ben Schoenmaker dari Institut Sejarah Militer Belanda menambahkan bahwa kekerasan militer Belanda “sering terjadi dan tersebar”.
“Para politisi yang bertanggung jawab menutup mata terhadap kekerasan ini, sama seperti otoritas militer, sipil, dan hukum.” katanya.
Studi itu juga menemukan bahwa tentara yang dikirim untuk terjun pada misi itu tidak dilatih dengan baik. Hasilnya, mereka terlibat dalam tindakan penyiksaan, pembunuhan tanpa proses hukum, dan penyalahgunaan senjata.
Penemuan itu bertentangan dengan pandangan pemerintah Belanda bahwa pasukan mereka hanya terlibat kekerasan ekstrem secara sporadis.
Sebelumnya, Raja Willem-Alexander telah meminta maaf atas kekerasan tentara Belanda dalam kunjungannya ke Indonesia pada 2020.
Pemerintah Belanda kemudian menawarkan kompensasi sebesar 5000 euro atau setara dengan Rp81 juta (asumsi kurs Rp16,296.87 per euro) bagi janda dan anak-anak pejuang Indonesia yang dieksekusi oleh pasukan kolonial, seperti dikutip dari Reuters.
Perdana Menteri Rutte mengatakan bahwa tawaran itu masih tetap terbuka.