<p>Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun hingga 5% pada Senin, 30 Maret 2020 pukul 10.20 waktu JATS sehingga perdagangan saham dibekukan sementara atau trading halt. / Pixabay</p>
Industri

BI: Beda Krisis 1998 dan 2008 dengan Kondisi 2020 Akibat COVID-19

  • Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan krisis keuangan pada 1997-1998 dan 2008, meski kini sedang terdampak penyebaran wabah virus corona baru atau COVID-19.

Industri
Khoirul Anam

Khoirul Anam

Author

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan krisis keuangan pada 1997-1998 dan 2008, meski kini sedang terdampak penyebaran wabah virus corona baru atau COVID-19.

Nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin, 23 Maret 2020, ambrol ke level Rp16.575 per dolar Amerika Serikat di pasar spot. Bahkan, kurs rupiah di pasar spot sempat nyaris menembus level terendah sepanjang sejarah yang pernah dicapai saat krisis ekonomi 1998.

Kurs rupiah di pasar spot, diperdagangkan pada rentang Rp15.975-Rp16.625 per dolar AS. Level tersebut menjadi rekor baru terlemah sejak 1998 yakni Rp16.650 per dolar AS.

“Kondisinya sangat-sangat berbeda dengan krisis 2008 apalagi krisis Asia pada 1997,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam jumpa pers melalui streaming di Jakarta, Kamis, 26 Maret 2020.

Perry Warjiyo mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini tidak bisa dibandingkan ketika terjadi krisis keuangan di Asia pada 1997.

“Dulu Rp16.000 turun dari Rp2.500, hampir delapan kali lipat. Rp16.000 sekarang dari Rp13.800, dengan tingkat pelemahan sekitar 12%, tapi jauh lebih kecil dari kondisi dulu,” ujar Perry Warjiyo.

Menurut dia, situasinya juga tidak bisa disamakan dengan krisis finansial tahun 2008 yang terjadi akibat kolapsnya sistem keuangan di AS dan Eropa.

“Krisis global waktu itu terjadi karena subprime mortgage yang menjadi default, sehingga menyebabkan kepanikan di pasar keuangan AS dan Eropa,” ujar Perry Warjiyo.

Ia memastikan kondisi sekarang lebih dipengaruhi oleh kepanikan pasar keuangan global di AS dan Eropa dalam menyikapi pandemi virus corona.

“Yang terjadi sekarang pandemi COVID-19, eskalasinya sangat cepat luar biasa di AS dan Eropa. Di Italia jumlah kematian bahkan lebih tinggi dari China,” kata Perry Warjiyo.

Namun, kepanikan yang terjadi selama dua pekan terakhir mulai reda, seiring dengan adanya stimulus fiskal dalam jumlah besar dari Amerika Serikat dan Jerman.

“Saya tidak mengatakan ini sudah berakhir, tapi lebih mereda dari minggu lalu,” kata Perry.

Perry juga memastikan kondisi perbankan nasional jauh lebih kuat dibandingkan posisi tahun 1997 dan 2008 dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) mencapai 23% dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) 2,5%.

“Langkah-langkah kebijakan ekonomi kita juga cukup baik melalui kebijakan fiskal, moneter, dan koordinasi di tingkat KSSK,” ujarnya.

Stimulus Redam Pasar

Bank sentral menegaskan berbagai stimulus yang telah dikeluarkan oleh negara-negara maju mampu meredam kepanikan pasar keuangan global akibat pandemi COVID-19 sehingga pasar menjadi lebih stabil.

“Langkah-langkah ini mengurangi kepanikan di berbagai pasar keuangan global,” kata Perry Warjiyo menambahkan.

Perry Warjiyo menjelaskan stabilitas pasar keuangan didukung oleh disetujuinya paket stimulus fiskal di Amerika Serikat (AS) senilai total US$2 triliun setara dengan Rp32 kuadriliun dengan rincian US$100 miliar untuk bidang kesehatan dan US$350 miliar untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Kemudian, paket stimulus Amerika Serikat senilai US$2 triliun itu juga digunakan untuk mendukung tenaga kerja sebesar US$250 miliar, US$500 miliar untuk dunia usaha, serta sisanya dialokasikan untuk bantuan sosial.

Selain itu, Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (Fed) juga menambah stabilitas pasar keuangan melalui kebijakan pemangkasan suku bunga acuannya sebesar 100 basis poin (bps) atau mendekati 0%.

“The Fed juga telah menambah injeksi likuiditas untuk ke pasar uang maupun juga pembelian surat-surat berharga dari sektor keuangan maupun korporasi,” kata Gubernur BI itu.

Tak hanya itu, Jerman juga menyetujui paket stimulus fiskal sebesar 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya atau setara dengan US$860 miliar.

Perry Warjiyo melanjutkan Bank Sentral Eropa juga telah menyepakati untuk melakukan injeksi likuiditas seiring adanya koordinasi berbagai negara maju dan berkembang, termasuk dengan Indonesia dalam kerangka G20.

Ia menuturkan langkah dan kebijakan negara-negara tersebut mengurangi kepanikan di pasar global yang dapat dilihat salah satunya melalui adanya perbaikan indeks saham Dow Jones yang menguat.

Indeks saham Dow Jones mengalami penguatan sebesar 495 poin di level 2,3% dalam perdagangan hari ini, sedangkan Indeks Standard & Poor’s (S&P) menguat 28 poin di level 1,15%.

Kemudian, perbaikan pada stabilitas pasar juga terjadi di Eropa yaitu indeks FTSE100 menguat 242 poin di level 4,45% dan DAX yang menguat 173 poin ke level 1,79%.

“Kita catat indeks berbagai negara lain juga mengalami penguatan seperti Brasil, Meksiko, dan Rusia. Ini menunjukkan paket kebijakan moneter maupun stimulus mengurangi kepanikan di pasar,” kata Gubernur BI tersebut.

Ia menyatakan meredanya tekanan di pasar global berpengaruh terhadap pasar keuangan Indonesia seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang pada hari ini diperdagangkan Rp16.228.

Selanjutnya, di pasar saham turut mengalami perbaikan yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat berada di posisi 4.316 atau menguat 380 poin dalam pembukaan perdagangan pada Kamis, 26 Maret 2020.

Sementara di pasar obligasi pemerintah, Perry menyebutkan adanya penguatan karena investor asing sudah mulai kembali membeli Surat Berharga Negara (SBN), khususnya di pasar sekunder.

Outflow juga mengalami penurunan dan ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan baik pasar valas, pasar saham, atau pasar obligasi semakin membaik,” tegasnya. (SKO)