<p>Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat hadir pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 September 2020. Raker tersebut membahas asumsi dasar Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

BI Dinilai Perlu Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 4%

  • JAKARTA – Bank Indonesia (BI) diimbau untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 4% pada bulan ini, dengan tetap memperhatikan kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas di sektor keuangan. Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai, pelonggaran kebijakan moneter saat ini […]

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) diimbau untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 4% pada bulan ini, dengan tetap memperhatikan kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas di sektor keuangan.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai, pelonggaran kebijakan moneter saat ini tidak akan mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi. Sebaliknya, risiko justru muncul terhadap tekanan depresiasi nilai tukar rupiah dan arus modal keluar.

Nilai tukar rupiah bergejolak sejak pertengahan September. Lebih lanjut, belum ada tanda-tanda pemulihan ekonomi dalam waktu dekat,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima TrenAsia.com, Senin, 12 Oktober 2020.

Menurutnya, permintaan masyarakat menengah ke atas masih tertahan di samping para pelaku usaha yang juga menahan kapasitas produksi.“Belum ada tanda-tanda nyata dari pulihnya daya beli,” kata Riefky.

Terlepas dari itu, lanjutnya, pelemahan inflasi mulai mereda pada September, yakni sebesar 1,42% year-on-year (yoy). Angka tersebut meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Pasalnya, tercatat inflasi tahunan bulan Agustus merupakan level terendah dalam dua dekade terakhir, yakni 1,32% yoy.

Lebih lanjut, meskipun mencatatkan deflasi bulanan secara beruntun untuk ketiga kalinya, inflasi bulanan September sebesar -0,05 month-to-month (mtm) tercatat lebih tinggi ketimbang periode yang sama di tahun lalu, yakni sebesar -0,14% (mtm).

Adanya kenaikan inflasi pun, kata Riefky, daya beli masyarakat masih lemah. Berlanjutnya tren penurunan dari inflasi inti tahunan dan bulanan yang tercatat pada 1,86% (yoy) dan 0,13% (mtm), dibandingkan dengan 2,03% (yoy) pada bulan sebelumnya dan 0,30% (mtm) periode yang sama tahun lalu, mengindikasikan bahwa daya beli masih jauh dari pulih.

“Pelemahan daya beli juga akan terus berlanjut dilihat dari sejumlah indikator,” ungkapnya.

Indikator yang dimaksud, seperti penurunan beberapa komponen harga barang yang diatur pemerintah, yakni sebesar 0,63% yoy dan -0,19% mtm. Angka tersebut turun dibandingkan dengan pertumbuhan Agustus lalu 1,03% yoy dan 0,2% mtm.

Dalam kondisi normal, jelas Riefky, inflasi biasanya memberikan informasi terkait perbaikan atau pelemahan. Namun, inflasi inti yang merupakan indikator untuk mengukur daya beli, tidak mengalami pergerakan pada September.

Ditambah, kelompok penduduk yang memiliki tabungan lebih dinilai masih ragu untuk membelanjakan uangnya ke level normal.

“Yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat cenderung meningkatkan tabungannya,” ungkap Riefky.

Pilihan masyarakat untuk menabung dibandingkan membelanjakan anggaran, memang terbukti jika dilihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Per Agustus 2020, Bank Indonesia (BI) melaporkan DPK tumbuh hingga 11,64% yoy. Angka tersebut meningkat dibandingkan Juli 2020 yang sebesar 8,5% yoy.

“Maka, belum ada jalur pemulihan daya beli yang cukup stabil hingga saat ini, bahkan untuk beberapa bulan kedepan,” tuturnya.