<p>Karyawan menghitung uang dolar AS di Kantor Cabang Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Rabu (18/3) hingga pukul 10.09 WIB, nilai tukar rupiah melemah 140 poin atau 0,93 persen ke posisi Rp15.223 per dolar AS. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.</p>
Industri

BI Uji Coba Skenario Terburuk Rupiah Rp20.000 Per dolar AS

  • Bank Indonesia (BI) menguji coba kurs rupiah dalam skenario buruk Rp17.000 dan sangat buruk Rp20.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

Industri
Khoirul Anam

Khoirul Anam

Author

Bank Indonesia (BI) menguji coba kurs rupiah dalam skenario buruk Rp17.000 dan sangat buruk Rp20.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan nilai tukar yang sempat disebutkan dalam jumpa pers melalui telekonferensi bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yakni mencapai Rp17.000 per dolar AS dalam skenario berat dan Rp20.000 per dolar AS dalam skenario sangat berat merupakan pengandaian (what if) bukan proyeksi.

“Seolah-olah bahwa nilai tukar rupiah akan Rp17.000 atau Rp20.000 per dolar AS itu adalah what if skenario bukan proyeksi. Kami yakin nilai tukar rupiah saat ini memadai dan langkah stabilisasi BI dan koordinasi erat pemerintah akan bergerak stabil dan cenderung menguat,” ujar Perry dalam video konferensi terkait perkembangan ekonomi terkini di Jakarta, Kamis, 2 Maret 2020.

What if skenario yang dimaksud Perry adalah terjadinya pergerakan manusia dari wilayah Jakarta ke berbagai daerah. Pergerakan itu disebut bakal berdampak pada pertumbuhan ekonomi jika tidak dapat diatasi.

“Kemudian memerlukan tentu saja kemampuan pembiayaan untuk mengatasi berbagai langkah di bidang kesehatan, perlu ada tambahan anggaran untuk kesehatan, perlu tambahan anggaran untuk bidang jaminan sosial masyarakat, perlu tambahan anggaran baik untuk pemulihan ekonomi,” ungkapnya.

Meski demikian, bank sentral optimistis nilai tukar rupiah akan bergerak stabil dan cenderung menguat menuju Rp15.000 per dolar AS pada akhir 2020 lantaran BI terus melakukan stabilisasi rupiah.

“Nilai tukar rupiah saat ini memadai levelnya dan BI terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah agar bergerak stabil,” kata dia.

Menurut Perry Warjiyo, stabilitas nilai tukar rupiah mulai terlihat sejak sepekan terakhir, termasuk di pasar modal dan pasar keuangan.

Untuk itu, kerja sama korporasi, termasuk pelaku pasar, dunia keuangan, dan eksportir, dilakukan bersama untuk menjaga stabilitas yang lebih baik.

Komunikasi dengan investor global juga dilakukan mencerminkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari penanam modal dunia itu terhadap Indonesia sehingga diyakini aliran modal asing akan tetap masuk ke Tanah Air.

Sebelumnya Perry menyebutkan selain melakukan penurunan suku bunga acuan mencapai 4,5%, BI melakukan tiga intervensi dalam stablisasi nilai tukar rupiah di antaranya melalui pasar tunai atau spot, Domestik Non Deliverable Forward (DNDF), dan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Untuk pembelian SBN di pasar sekunder, BI membeli SBN mencapai Rp166 triliun, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) untuk valas dari 8% menjadi 4% sehingga menambah likuiditas mencapai sekitar US$3,2 miliar.

GWM rupiah juga diturunkan sebesar 50 basis poin dengan tambahan likuiditas sekitar Rp22 triliun dan ditambah awal tahun yang sudah dikendorkan 100 basis poin sehingga menambah likuditas Rp50 triliun.

Bank Indonesia ini sudah menginjeksi ke pasar keuangan dan perbankan mencapai total Rp300 triliun sebagai langkah stabilisasi rupiah.

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis pagi, 2 April 2020, bergerak melemah seiring menjauhnya investor dari aset-aset berisiko.

Pada pukul 09.42 WIB, rupiah bergerak melemah 78 poin atau 0,47% menjadi Rp16.528 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.450 per dolar AS.

Bukan Bailout atau BLBI

Sementara itu, Perry menegaskan bank sentral ini jika diperlukan bisa membeli Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana dan itu bukan merupakan dana talangan.

“Mohon jangan diartikan ini sebagai bailout (dana talangan), jangan diartikan ini sebagai BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), prudent terus dilakukan termasuk menjaga stabilitas di sektor keuangan,” kata Perry Warjiyo.

Menurut dia, dalam pembelian SUN atau SBN dan SBSN di pasar perdana, BI akan menjadi pemberi pinjaman terakhir atau the lender of last resort.

Artinya, BI baru akan membeli SUN atau SBSN itu dalam urutan terakhir setelah pemerintah menghitung dahulu anggaran yang sudah ada, termasuk realokasi anggaran untuk pembiayaan penanganan COVID-19 dan kemampuan pasar untuk menyerap instrumen investasi itu.

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menggunakan realokasi anggaran, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), hingga dana yang ada di lembaga di bawah naungan Kemenkeu. Selain itu, kemampuan pasar baik dalam negeri dan luar negeri menyerap SUN atau SBSN tersebut.

Untuk pasar dalam negeri, lanjut dia, penyerapannya masih memungkinkan karena dari lelang SBN pekan lalu mencapai Rp20 triliun atau melebihi target sebesar Rp15 triliun.

Begitu juga pasar luar negeri, kata dia, dimungkinkan menerbitkan obligasi global yang bisa ditingkatkan hingga lebih dari US$10 miliar setara Rp160 triliun.

“Dalam hal kapasitas pasar tidak bisa menyerap misalnya disebabkan suku bunga SBN tinggi, atau tidak rasional, di sinilah bank sentral bisa beli SBN itu dari pasar primer,” kata Perry Warjiyo.

Perry mengungkapkan wabah Virus Corona baru atau COVID-19 telah menyebabkan perekonomian dunia dan nasional menjadi tidak normal. Dalam Undang-Undang Bank Indonesia, BI tidak diperkenankan membeli SUN/SBN atau SBSN di pasar perdana dan hanya diperbolehkan membeli di pasar sekunder.

“Jika kondisi normal kembali, kapasitas pasar bisa menyerap, kami akan kembali ke UU BI dan tidak membeli SUN atau SBSN di pasar primer, yang kami lakukan adalah di pasar sekunder,” katanya.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perrpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam Perppu itu, BI diberikan kewenangan untuk membeli SUN/SBN atau SBSN sebagai salah satu sumber dana untuk menutupi kebutuhan tambahan biaya penanganan COVID-19

Adapun tambahan belanja untuk penanganan COVID-19 mencapai Rp405,1 triliun yang tidak tercantum dalam belanja negara di APBN 2020. (SKO)