<p>Ilustrasi sosial media Facebook / Pixabay</p>
Dunia

Bidik Perusahaan Teknologi Kelas Kakap, Negara G7 Sepakat Tarik Pajak Korporasi Hanya 15 Persen

  • Menteri Keuangan dari negara Group of Seven atau G7 Menyepakati tarif baru pajak korporasi perusahaan global minimal 15%.

Dunia
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Menteri Keuangan dari negara Group of Seven atau G7 Menyepakati tarif baru pajak korporasi perusahaan global minimal 15%.

Langkah ini ditempuh negara-negara maju itu untuk mengejar penerimaan pajak perusahaan multinasional yang telah mendirikan cabang di berbagai negara.

Dengan demikian, seluruh perusahaan yang telah memiliki cabang di negara lain seperti Google, Amazon, hingga Facebook bisa dikenai pajak minimum 15%.

Melansir Reuters, negara G7 menyepakati hal ini sebagai jalan tengah pembiayaan pandemi COVID-19. Terutama di negara-negara yang biasa menjadi pasar perusahaan multinasional tersebut.

Untuk diketahui, negara- negara G7 terdiri dari Jepang, Italia, Perancis, Jerman, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat.

“Para Menteri Keuangan G7 telah menyepakati kesepakatan bersejarah untuk mereformasi sistem pajak global agar sesuai dengan era digital global,” kata Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak, dikutip Senin, 7 Juni 2021.

Membebankan perusahaan global untuk pembiayaan esensial ini lebih dulu dilakukan Amerika Serikat. Presiden Joe Biden melancarkan strategi baru untuk mencari dana pembangunan infrastruktur dengan menaikkan pajak perusahaan dari 21% menjadi 28%.

Apa Dampaknya ke Indonesia?

Program Manager Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Meliana Lumbantoruan mengungkap kesepakatan ini punya implikasi positif terhadap Indonesia. Standar pajak perusahaan global yang telah dipatok tinggi itu bisa menjadi potensi penerimaan negara yang potensial.

Tantangannya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus melakukan pengawasan ketat agar perusahaan membayar sesuai dengan apa yang dihasilkan melalui kegiatan usahanya.

“Pemerintah dalam hal ini DJP perlu memastikan agar kegiatan perusahaan global itu bisa dikenakan pajak sesuai dengan kegiatannya. Selain itu perlu juga transparansi agar tidak ada lagi penggelapan pajak,” ujar Meliana dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.

Dilihat dari segi regulasi, Meliana menilai produk hukum untuk mengenakan pajak perusahaan global sudah tergolong lengkap. Hal itu tampak dari adanya aturan mengenai transfer pricing hingga melaporkan country by country report.

Tidak hanya itu, Indonesia juga tercatat sudah melakukan kerja sama dengan 75 negara terkait pengawasan dan pengenaan pajak korporasi internasional.

“Kalau saya katakan sudah sangat, sudah sangat bagus. Namun perlu upaya ekstra untuk mencegah trade misinvoicing (pemindahan uang secara ilegal lintas yurisdiksi yang melibatkan pemalsuan nilai) agar produk perusahaan atau afiliasinya tidak ada yang lolos,” ujar Meliana.

Pekerjaan ekstra untuk memungut pajak perusahaan kelas kakap ini mendapat dukungan pula dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Sekretariat Jenderal (Sekjen) OECD Mathias Cormann menyebut peningkatan pajak korporasi global ini bisa memicu reformasi perpajakan internasional.

Menurut Mathias, reformasi perpajakan sangat urgen di tengah pesatnya arus transaksi dan usaha di bidang digital sehingga perlu penyesuaian ulang. Dirinya mengatakan, kenaikan pajak korporasi global ini membuka peluang bagi negara-negara pasar teknologi untuk mengeruk penerimaan tambahan.

“Konsensus para menteri keuangan G7 merupakan langkah penting menuju konsensus yang diperlukan untuk mereformasi sistem perpajakan internasional,” kata Mathias dalam keterangan tertulis, Senin, 7 Juni 2021. (LRD)