PGN Subholding Gas Pertamina Terus Upayakan Jaga Kinerja Positif ke Depan / Dok. PGN
Korporasi

Bikin Biaya Bengkak, Kebijakan HGBT Gerus Laba PGN

  • Ada lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp15,67 triliun potensi penerimaan negara yang hilang akibat kebijakan harga gas bumi tertentu atau HGBT sepanjang 2023
Korporasi
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) alias PGN mencatat adanya penurunan margin pada 2023. Laba bersih tahun lalu terpantau sebesar US$278,09 juta atau setara Rp4,29 triliun (kurs jisdor Rp15.439 per satu dolar).

Namun, perolehan laba bersih entitas PT Pertamina (Persero) ini mengalami penyusutan sebesar 14,7% year-on-year (YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni US$326,23 juta. 

Hal tersebut menyusul adanya kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk tujuh industri yang dipatok maksimal US$ 6 per MMBTU. Seperti diketahui, PGN telah menjalankan penugasan HGBT kepada sektor industri dan kelistrikan sejak April 2022.

"Atas implementasi tersebut, hingga saat ini PGN dan grup yang telah menjalankan perintah itu hingga mengalami penurunan margin, belum mendapatkan kompensasi dari pemerintah atas pelaksanaan HGBT itu," kata Direktur Sales dan Operasi PGN Ratih Esti Prihatini dalam Public Expose LIVE 2023, Rabu 29 November 2023.

Sejatinya, PGN berhasil meningkatkan pendapatan sebesar 1,89% secara tahunan menjadi US$3,64 miliar atau setara dengan Rp56,14 triliun dari 2022 senilai US$3,56 miliar. Sayang, kenaikan pendapatan diiringi dengan kenaikan beban pokok menjadi US$2,91 miliar atau setara Rp44,96 triliun. 

Beban ini naik 4,47% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar US$2,78 miliar. 

Gendutnya beban pokok pendapatan yang menggerus laba bersih PGN juga sudah terjadi sejak 2022. Pada tahun pertama implementasi HGBT, laba bersih PGN masih tetap tumbuh jadi US$401,34 juta dibandingkan dengan keuntungan 2021 yakni US$364,53 juta.

Di satu sisi, beban pokok pendapatan yang ditanggung juga naik jadi US$2,78 miliar dari semula US$2,44 miliar pada 2021.

TrenAsia merangkum perolehan pendapatan, beban pokok opersional, dan laba bersih PGN sejak 2021 hingga 2023 sebagai berikut: 

2021

Pendapatan: US$3,03 miliar

Beban pokok pendapatan: US$2,44 miliar

Laba: US$364,53 juta

2022

Pendapatan: US$3,56 miliar

Beban pokok pendapatan: US$2,78 miliar

Laba: US$401,34 juta

2023

Pendapatan: US$3,64 miliar

Beban pokok pendapatan: US$2,9 miliar

Laba: US$376,61 juta

Potensi Penerimaan Negara

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak Dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut ada lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp15,67 triliun (asumsi kurs Rp15.667 per dolar AS) potensi penerimaan negara yang hilang akibat kebijakan harga gas bumi tertentu atau HGBT sepanjang 2023.

Kurnia mengatakan, potensi hilangnya pendapatan negara itu masih dalam hitung-hitungan awal dan perlu rekonsiliasi lanjutan.  

Lebih lanjut kata Kurnia, hilangnya pendapatan negara yang cukup besar itu dibarengi dengan pengembalian sejumlah kontrak volume dan gas ke perjanjian jual beli gas (PJBG) awal sebelum beleid HGBT terbit pertama kali lewat Kepmen ESDM No.89 tahun 2020.

Baca Juga: Negara Tekor Besar, Ini Alasan Kebijakan Harga Gas Murah Gagal Capai Target

“Kalau kami mencatat mungkin jumlahnya di 2023 ini bisa mencapai lebih dari US$1 miliar ada potensi penurunan penerimaan negara atau penyesuaian penerimaan negara,” papar Kurnia.

Adapun jika mengacu Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023, HGBT tidak lagi dipatok US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu). Namun sebagian industri saat ini mendapat penyusutan alokasi volume dan harga gas bisa di level tertinggi US$7 per MMBtu.  

Sekadar informasi, adanya pengurangan penerimaan negara itu sebagai konsekuensi dari aturan kept whole contractor yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Pemerintah harus memastikan tidak adanya pengurangan penerimaan kontraktor dari program HGBT. 

Realisasi HGBT

Kurnia mengatakan penyerapan gas industri murah melalui kebijakan harga gas bumi tertentu atau HGBT tak mencapai 100% dari target.

Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, ada beberapa masalah yang menyebabkan gas murah di industri tak terserap optimal yakni di angka 95%.

“Kami sedang melakukan evaluasi dan memang faktornya cukup banyak. Pertama ada faktor dari hulu itu sendiri,” kata Kurnia dalam Webinar pada Rabu, 28 Februari 2024.

Menurut Kurnia, dari sisi hulu migas ada rencana-rencama produksi yang mengalami kendala operasional. Hal ini mengakibatkan alokasi yang telah direncanakan dalam keputusan menteri menjadi ada sedikit fluktuasi yang meningkat dan menyebabkan penurunan.

Kedua, ada faktor dari sisi midstream dan downstream. Pasalnya ada industri yang ‘belum mampu’ menyerap karena kendala operasional atau karena turn around atau bahkan mungkin sedang shutdown sementara.

Selain itu, Kurnia juga melihat adanya hal lain yang turut berpengaruh yakni faktor ketidakcukupan bagian negara untuk menjaga bagian kontraktor tetap utuh.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri akan mengevaluasi kelanjutan kebijakan ini. Koordinator Penyiapan Program Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Rizal Fajar Muttaqien mengatakan, pihaknya saat ini tengah melakukan proses review terhadap pengguna HGBT. Salah satunya, dengan berkoordinasi bersama Kementerian Perindustrian.

Apa Itu HGBT?

Kebijakan HGBT dirilis secara resmi oleh pemerintah sejak tahun 2020. Aturan penggunaannya dituliskan dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Kebijakan HGBT diatur dalam Permen ESDM 15/2022. Permen tersebut mengatur regulasi atau dasar untuk menentukan tata cara penetapan dan penggunaan gas bumi.

Di samping itu, Permen ESDM 15/2022 juga mengatur penentuan harga gas bumi pada pemanfaatannya di bidang industri. Proses ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti keekonomian di lapangan, harga gas bumi di pasar domestik dan internasional, daya beli konsumen gas bumi di dalam negeri, dan nilai tambah pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.

Penetapan HGBT juga dilaksanakan berdasarkan harga gas bumi yang dibeli oleh kontraktor. Ini juga mencakup tarif penyaluran gas bumi yang meliputi proses pembebanan biaya, pemampatan, pengangkutan, penyimpanan, dan margin yang wajar.

Kebijakan HGBT dibuat untuk meningkatkan daya saing perusahaan manufaktur di beberapa sektor. Ketujuh sektor yang mendapatkan HGBT adalah industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.