Photo by Josh Willink: https://www.pexels.com/photo/man-carrying-her-daughter-smiling-1157395/
Nasional

Bisa Ganggu Pertumbuhan Anak, Fenomena Fatherless Masih Harus Diperhatikan

  • Kurangnya keterlibatan peran ayah dalam pengasuhan anak membuat anak-anak Indonesia menjadi father hungry “lapar pada sosok ayah”. Yaitu, kerusakan psikologis yang diderita anak-anak dikarenakan tidak mengenal ayahnya.

Nasional

Rumpi Rahayu

JAKARTA - Istilah fatherless mungkin masih asing di teliga beberapa orang. Meski begitu fenomena fatherless cukup banyak terjadi di Indoensia. 

Indonesia disebut-sebut adalah salah satu negara yang termasuk dalam kategori fatherless country atau disebut juga father hunger. 

Fatherless adalah fenomena yang muncul sebagai akibat dari hilangnya peran ayah dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Fatherless tidak hanya berbicara pada kehadiran dan keterlibatan secara fisik, tetapi juga secara psikologis. 

Dikutip dari laman Provinsi Kepulauan Bangka Belitung fatherless country adalah sebuah negara yang ditandai keadaan atau gejala dari masyarakat berupa kecenderungan tidak adanya peran, dan keterlibatan figur ayah secara signifikan dan hangat dalam kehidupan sehari-hari seorang anak di rumah. 

Menurut Dwi Ratna Laksitasari dari Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, salah satu penyebab Indonesia menjadi fatherless country adalah pola patrilineal yang cukup kental. Posisi ayah yang harus selalu diutamakan karena dinilai sudah berjuang keras dan lelah mencari nafkah sehingga sudah tidak perlu dibebani lagi dengan tangisan anak, atau bermain bersama anak.

Kurangnya keterlibatan peran ayah dalam pengasuhan anak membuat anak-anak Indonesia menjadi father hungry “lapar pada sosok ayah”. Yaitu, kerusakan psikologis yang diderita anak-anak dikarenakan tidak mengenal ayahnya.

Kondisi father hungry ini dapat berakibat pada rendahnya harga diri anak, anak tumbuh dengan kondisi psikologis yang tidak matang (kekanak-kanakan/childish), tidak mandiri/ dependent, kesulitan menetapkan identitas seksual (cenderung feminin atau hypermasculin), kesulitan dalam belajar, kurang bisa mengambil keputusan/ tidak tegas, bagi anak perempuan tanpa model peran ayah setelah dewasa sulit menentukan pasangan yang tepat untuknya hingga dapat salah memilih pria yang layak/ salah pilih jodoh.

Dampak-dampak tersebut dapat berakibat lagi pada masalah sosial. Seperti kesulitan menetapkan identitas seksual membuat anak cenderung lebih mudah untuk terlibat LGBT, kondisi psikologis yang tidak matang pada seorang laki-laki maupun perempuan membuatnya lebih mudah jatuh sebagai pelaku maupun korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Peran ayah dan ibu dalam perkembangan anak, baik laki-laki maupun perempuan, sangat penting. Keduanya memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Ibu dengan sisi feminin, kecenderungan pada sisi emosi, mengajak anak untuk mengasah sisi emosi, empati dan kasih sayangnya. Ayah dengan titik berat pada logika mengajarkan anak untuk dapat membuat keputusan dengan pertimbangan akal yang baik dan melakukan problem solving yang logis.

Lalu, bagaimana dengan anak yang sudah tidak memiliki ayah dikarenakan sesuatu hal, entah perceraian atau bahkan kematian? Peran itu dapat digantikan oleh kakek, paman, atau kakak laki-lakinya. Anak tetap butuh role model untuk dapat belajar berperilaku.