Industri

Bisnis di Indonesia Peringkat 3 Paling Siap secara Digital se-Asia Tenggara

  • JAKARTA – Bisnis di Indonesia menempati peringkat ketiga dalam pemanfaatan digitalisasi di antara negara-negara di Asia Tenggara, sekaligus peringkat ketujuh di Asia-Pasifik. Survei “DBS Digital Treasurer 2020” tersebut merupakan hasil dari jajak pendapat yang meneliti sekitar 1.700 corporate treasurers, CEO, CFO, dan pemilik bisnis se-Asia-Pasifik (APAC). Survei ini memperlihatkan bahwa dalam hal kesiapan digital, sekitar […]

Industri
Gloria Natalia Dolorosa

Gloria Natalia Dolorosa

Author

JAKARTA – Bisnis di Indonesia menempati peringkat ketiga dalam pemanfaatan digitalisasi di antara negara-negara di Asia Tenggara, sekaligus peringkat ketujuh di Asia-Pasifik.

Survei “DBS Digital Treasurer 2020” tersebut merupakan hasil dari jajak pendapat yang meneliti sekitar 1.700 corporate treasurers, CEO, CFO, dan pemilik bisnis se-Asia-Pasifik (APAC).

Survei ini memperlihatkan bahwa dalam hal kesiapan digital, sekitar 26% perusahaan di Indonesia sudah memiliki strategi yang jelas.

Hasilnya, Indonesia berada di urutan ketiga di Asia Tenggara setelah Singapura (45%) dan Thailand (32%).

Di kawasan APAC, bisnis di Indonesia menempati peringkat ketujuh dalam hal kesiapan digital setelah Singapura (45%), Hongkong (44%), Jepang (41%), Taiwan (39%), Korea Selatan (39%), dan Thailand (32%) berturut-turut.

Bila membandingkan bisnis di APAC dengan area global lain seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, AS dan Inggris memiliki proporsi bisnis dengan strategi digital yang jauh lebih besar.

Sebagai contoh, hampir separuh bisnis di AS dan Inggris memiliki strategi yang terstruktur bila dibandingkan dengan dua dari 10 bisnis di APAC.

Group Head of Institutional Banking DBS Bank, Tan Su Shan, mengatakan di tengah gejolak akibat pandemi, solusi digital menjadi penyambung hidup bagi sebagian besar bisnis secara global, terlepas dari ukuran atau industrinya.

“Saat memulai ‘kenormalan berikutnya’, kita harus memetakan arah baru dan siap untuk terus berubah dan beradaptasi dengan keadaan baru,” kata Tan dalam siaran pers, Rabu, 30 September 2020.

Menurutnya, dengan perubahan besar dalam pola konsumsi, pekerjaan, dan pariwisata akibat Covid-19 – yang kemungkinan tidak akan kembali seperti sebelum pandemi – diprediksi banyak perubahan pada dasawarsa mendatang daripada dasawarsa lalu.

“Bisnis harus siap untuk terus bermetamorfosis tanpa henti agar dapat bertahan dan berkembang,” ujar Tan.

Tekanan terhadap Digitalisasi

Di tengah iklim persaingan industri, industri menghadapi tekanan dari luar untuk bertransformasi digital. Hal ini ditandai dengan gangguan pada rantai pasokan serta Covid-19 yang mendorong laju digitalisasi pada hampir semua bisnis di kawasan (99%).

Faktor utama yang mendorong kebutuhan untuk berubah mencakup perubahan pola konsumsi pelanggan serta pasar utama mereka, pesaing, dan kompleksitas rantai pasokan yang berkembang.

Meskipun para pelaku bisnis yang mengikuti survei tersebut memahami pentingnya perubahan, di saat yang sama mereka juga berhadapan dengan tantangan dalam penerapan teknologi baru.

Ada tiga tantangan utama, yaitu kecepatan perubahan (80%), kerumitan pelaksanaan (75%), dan kelangkaan bakat digital (64%).

Hal ini sangat berbeda dengan AS dan Inggris. Sembilan dari 10 bisnis di sana menyatakan bahwa tantangan utama mereka adalah tetap mampu menyesuaikan diri dengan regulatory environment.

Hal ini mendukung persepsi bahwa kedua pasar tersebut memiliki akses lebih mudah ke kelompok digital talent.

Dalam hal digital spend, cash management (33%) dan pembiayaan rantai pasokan atau perdagangan (30%) merupakan dua bidang investasi terbesar untuk bisnis APAC.

Di Inggris, enam dari 10 (60%) bisnis memusatkan investasi mereka pada perdagangan dan teknologi terkait pembiayaan rantai pasokan. Sementara di AS, perusahaan menghabiskan sebagian besar pengeluaran untuk pelaporan risiko & kepatuhan (34%) serta solusi cash management (26%).

Bank tetap menjadi mitra paling strategis bagi bisnis di APAC untuk tetap mengikuti inovasi fintech dan mengidentifikasi solusi tepat. Hal ini lazim terjadi, khususnya di Vietnam (90%), Indonesia (84%), Thailand (82%), Malaysia (80%), dan Korea Selatan (76%).

Negara-negara itu cenderung bergantung pada mitra perbankan dalam mendapatkan arahan strategis untuk bisnis mereka.