Nampak petugas UPT Farmasi Dinas Kesehatan Kota Tangerang sedang melakukan pendataan obat sirup yang ditarik dari seluruh Puskesmas wilayah Kota Tangerang, 8 November 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
BUMN

Bobrok BUMN Farmasi Terbongkar di Tengah Bisnis Obat Makin Cuan

  • Herry menilai penyakit BUMN di sini seperti Indofarma dan Kimia Farma yang terbiasa dengan privilege atau hak istimewa dari negara berupa penugasan-penugasan tanpa mengkhawatirkan anggaran internal

BUMN

Debrinata Rizky

JAKARTA - Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi tengah menghadapi permasalah keuangan, hal ini berimbas ke adanya indikasi fraud yang dilakukan PT Indofarma dan anak usaha PT Kimia Farma Tbk (KAEF).

Pengamat BUMN Herry Gunawan menyebut sayang sekali bobroknya BUMN Farmasi terjadi di tengah prospektifnya bisnis obat dan alat kesehatan (alkes) di Indonesia semakin gemilang.

"Nilai pasar farmasi itu masih sangat besar ke depannya, sayangnya pengelolaan BUMN farmasi RI masih berantakan dan tujuannya tidak jelas," katanya kepada TrenAsia.com pada Senin, 8 Juli 2024.

Umumnya juga terjadi di beberapa BUMN, selalu senang punya anak perusahaan yang banyak. Namun pengawasa atau kontrol di dalamnnya masih berantakan.

Alasan BUMN Farmasi merugi semata-mata disebabkan kesalahan tata kelola dan juga terjadinya fraud yang menyebabkan perusahaan pelat meah di sektor farmasi ini carut-marut padahal sudah tergabung dalam satu holding.

Biang Kerok BUMN Industri Farmasi Keok

Potensi menjanjikan bidang pengobatan tidak serta merta memuluskan setiap pegiat industri ini. Kenyataannya beberapa tantangan perlu menjadi perhatian baik pelaku usaha maupun pemerintah.

Herry menjelaskan, BUMN Farmasi Indonesia masih mengimpor obat dan bahan baku hampir 90% sehingga yang menikmati cuan lebih banyak adalah perusahaan asing daripada negeri sendiri.

Berdasarkan hasil riset Datanetesia Institute, neraca perdagangan impor di farmasi Indonesia semakin merosot sejak 10 tahun kebelakang. Pada 2014 tercatat impor terkoeksi di angka US$710,2 juta, sempat naik tipis di 2015 diangka US$739 juta dan US$801,8 di 2016.

Koreksi yang dalam juga terjadi di tahun tahun berikutnya 2017,2018,2019 dan 2020 yang masing-masing diangka US$924,5 juta, US$990,5 juta, US$912,2 juta, dan US$1.158,8 juta. Namun saat 2021 koreksi terdalam juga menggoncang industri farmasi Indonesia tercatat US$4,359 juta dan di 2022 di angka US$1,511 juta.

Mneurut Herry tak hanya itu masalah lainnnya yang hatus dihadapi BUMN farmasi ialah kurang adaptif dalam mengahadapi perubahan zaman. Di mana seharusnya mempermudah masyarakat memperoleh akses ke digital bukan malah memperbanyak jaringan fisik apotik yang justru tak mendatangkan untung banyak.

"Sekarang mereka lebih sibuk dengan jaringan fisik. Nah, itu juga persoalan, banyak juga yang kalah bersaing jadinya," lanjutnya

Manja Dengan Penugasan

Herry menilai penyakit BUMN di sini seperti Indofarma dan Kimia Farma yang terbiasa dengan privilege atau hak istimewa dari negara berupa penugasan-penugasan tanpa mengkhawatirkan anggaran internal.

BUMN dengan rapor merah juga terbiasa disuntik Pemodalan Negara (PMN) untuk menutupi bobroknya kinerja keuangan yang diurus secara ugal-ugalan tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.

Jika integritas yang lemah, pengawasan yang asal-asalan, dan biaya tinggi akhirnya membuat perseroan tidak memiliki daya saing yang bagus.

"Jika ini terus dibiarkan, maka tak heran bahwa cuan industri farmasi tak dapat dinikmati sendiri justru ke asing lebih banyak," tandasnya.