Nampak seorang petani tengah melakukan panen tanaman kelapa sawit di kawasan Bogor Jawa Barat, Kamis 28 Mei 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Bocor Dana Abadi Sawit Menambal Subsidi Biodiesel di Tengah Kenaikan Harga CPO

  • Pemerintah harus menutup gap antara Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel dan HIP solar melalui subsidi.
Nasional
Muhammad Farhan Syah

Muhammad Farhan Syah

Author

JAKARTA – Harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang melonjak berakibat pada semakin melebarnya gap antara Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel dan HIP solar yang harus ditutup pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Memasuki tahun 2022, harga CPO terus melanjutkan tren kenaikan yang kuat di awal tahun. Harga CPO bahkan mencapai titik tertingginya sepanjang masa di level 5.628 ringgit Malaysia per ton pada 28 Januari 2022. 

Tingginya harga CPO berimbas pada meningkatnya HIP Bahan Bakar Nabati (BBN) pada biodiesel. Rata-rata selisih harga yang harus ditutup pemerintah antara HIP biodiesel dan HIP solar adalah sebesar Rp3.853 per liter, atau berada pada kisaran Rp3.060-Rp5.483 per liternya.

Sepanjang tahun 2022, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) telah menetapkan alokasi penyaluran biodiesel berjenis B30 sebanyak 10,15 juta kiloliter. Dengan demikian, dana yang akan dikucurkan BPDPKS untuk subsidi pada biodiesel pada 2022 pun adalah sebesar Rp48,7 miliar.

Subsidi melalui insentif yang diberikan pemerintah melalui BPDPKS itu dilakukan dengan tujuan untuk menstabilisasi harga biodiesel, sehingga harga biodiesel dapat terjangkau dan kompetitif bersaing dengan harga BBM solar di pasaran.

Alokasi dana BPDPKS untuk subsidi biodiesel terhitung jumbo. Dana yang siap digelontorkan sebesar Rp48,7 miliar untuk subsidi biodiesel itu setara dengan 75% dari total penggunaan dana BPDPKS pada 2022.

Bahkan, selama periode 2015-2021, alokasi penyaluran dana insentif yang digelontorkan BPDPKS untuk memberikan subsidi pada BBN biodiesel telah tembus hingga sebesar Rp110,03 triliun.

Hal itu menjadi miris mengingat tujuan awal dibentuknya BPDPKS adalah untuk menyejahterkan para petani sawit dan untuk keberlanjutan industri perkebunan kelapa sawit. Namun, yang terjadi saat ini, dana abadi milik BPDPKS justru difokuskan untuk hal-hal yang tidak ada kaitanya dengan keberlanjutan industri sawit.

Anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Demokrat Suhardi Duka dalam Rapat Kerja bersama BPDPKS juga mempertanyakan langkah yang dilakukan oleh BPDPKS dengan tetap memaksakan kebijakan subsidi pada BBN biodiesel ditengah tingginya harga CPO dibandingkan minyak.

Ia menilai harusnya BPDPKS tidak memaksakan subsidi biodiesel ditengah melonjaknya harga CPO dibandingkan minyak, adapun tujuan awal dari masuknya industri kelapa sawit ke solar adalah guna menstablilasi harga CPO yang pada saat itu masih terbilang rendah.

Sementara itu, capaian kinerja program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada 2021 pun mengalami kemunduran. Jumlah dana yang berhasil direalisasikan melalui program tersebut hanya sebesar Rp1,26 triliun dari target Rp3,6 triliun, atau turun drastis 52,58% dibandingkan realisasi di tahun 2020 sebesar Rp2,67 triliun.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurachman menturkan bahwa hal itu disebabkan oleh adanya pengetatan secara regulasi yang disyaratkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan atas usulan Badan Pengelola Keuangan (BPK).

“Hal ini disebabkan karena adanya rekomendasi dari BPK agar supaya sebelum Direktorat Jenderal Perkebunan menerbitkan rekomendasi teknisnya, itu legalitas lahannya harus clean & clear,” ujar Eddy dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR, dikutip 11 Februari 2022.

Sekerawutnya regulasi bagi petani untuk bisa berpartisipasi dalam program PSR menjadi catatan buruk BPDPKS dan para Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. Para petani mengeluhkan tentang bagaimana sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya seperti legalitas lahan milik petani yang di klaim masuk ke dalam Kawasan Hutan meskipun telah berumur lebih dari 20 tahun.

Hal-hal seperti itu semakin menunjukan minimnya keberpihakan BPDPKS terhadap petani dan keberlanjutan industri sawit, padahal dana abadi yang dimiliki oleh BPDPKS saat ini merupakan hasil pungutan ekspor sawit yang sesungguhnya berasal dari kerja keras para petani sawit.