Gedung Merah Putih KPK (Foto: Khafidz Abdulah/Trenasia)
Nasional

Bolak-balik Diubah, Revisi UU KPK Untungkan Siapa?

  • Beberapa poin perubahan yang tercantum pada revisi UU KPK tahun 2019 meliputi pembentukan Dewan Pengawas dengan kewenangan memilih dan melantik Pimpinan KPK, pelemahan kewenangan KPK dalam penyadapan, dan pengangkatan Pegawai KPK melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan dan tes poligraf.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Partai PDI Perjuangan (PDIP) mengajukan rencana untuk merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).  PDIP mengklaim tujuan pihaknya menggulirkan wacana ini untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia. 

"Sampai sekarang kita melihat nepotisme, korupsi, kolusi justru semakin merajalela. Maka sebagai sebuah ide dan gagasan, itu (revisi UU KPK) sangat membumi dan juga sangat visioner,"  terang Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, di Jakarta.

Sebelumnya Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau akrab disapa bambang pacul menggulirkan wacana revisi UU KPK yang sudah tidak mengalami perubahan selama lima tahun terakhir. 

Salah satu alasan utama yang mendorong PDIP untuk mendukung revisi ini adalah kasus korupsi besar dalam tata niaga timah yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp300 triliun. 

"Tambangnya aja Rp300 triliun (kerugian negara), itu baru satu kasus kerugian negaranya. Nah, di situlah infrastruktur yang dibangun adalah penguatan KPK," tambah Hasto.

Kontroversi Revisi UU KPK 2019

Revisi UU KPK yang dilakukan pada tahun 2019 sempat mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan aktivis antikorupsi.

Banyak kalangan meyakini upaya perubahan yang dilakukan pada tahun 2019 justru melemahkan kewenangan KPK dan menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Revisi UU KPK tahun 2019 tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang membawa beberapa perubahan signifikan dibandingkan dengan UU sebelumnya. 

Beberapa poin perubahan yang tercantum meliputi pembentukan Dewan Pengawas dengan kewenangan memilih dan melantik Pimpinan KPK, pelemahan kewenangan KPK dalam penyadapan, dan pengangkatan Pegawai KPK melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan dan tes poligraf. 

Selain itu, KPK harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan dan penyadapan hanya boleh dilakukan untuk tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian negara minimal Rp50 miliar.

Dalam hal kewenangan penuntutan, KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam setiap kegiatan pemanggilan, dan Kejaksaan Agung memiliki hak untuk mengambil alih perkara dari KPK. 

Revisi ini juga memberikan hak bagi tersangka korupsi untuk mengajukan gugatan praperadilan serta mengubah masa jabatan Pimpinan KPK dari lima tahun menjadi empat tahun dengan maksimal dua periode.

Kritikus menyatakan bahwa revisi tersebut dapat melemahkan KPK dan menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Dampak yang ditimbulkan darirevisi ini meliputi meningkatnya intervensi politik terhadap KPK, berkurangnya efektivitas KPK dalam memberantas korupsi, dan meningkatnya potensi impunitas bagi pelaku korupsi. 

Rencana Revisi UU KPK 2024

Bambang Pacul mengklaim pihaknya membuka peluang revisi UU KPK tahun 2024 karena banyaknya kritikan terhadap kewenangan KPK dan Dewan Pengawas serta banyaknya komplain terkait implementasi UU tersebut.

Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, juga menyoroti beberapa aspek dalam UU KPK yang perlu diperbaiki, seperti kewenangan Dewas yang tidak jelas dalam melakukan penindakan etik. 

Dengan manuver PDIP untuk revisi UU KPK, publik masig menantikan, apakah KPK dapat menjadi lebih kuat dan efektif dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga antirasuah di Indonesia, atau justru semakin impoten digembosi politisi.