<p>Ilustrasi pungutan pajak layanan digital hingga e-commerce / Shutterstock</p>
Industri

Booming Tren Daring (Serial 1): Menelisik Motor Penggerak Ekonomi Digital RI

  • Laporan khusus analisis masa depan ekonomi digital di Indonesia, terutama terkait IPO unicorn, bank digital, hingga suntikan modal. Simak selengkapnya dalam laporan serial.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Karpet merah telah digelar bursa Tanah Air untuk menyambut sejumlah start up lokal. PT Bukalapak Tbk (BUKA) menjadi start up pertama yang melewati karpet merah itu dengan mengungkap rencana penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) untuk membidik dana segar Rp21,9 triliun.

Terungkapnya rencana IPO Bukalapak itu menjadi momentum baru bagi ekonomi digital Tanah Air. Hal ini menjadi sinyal baru akselerasi ekonomi digital di Indonesia.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pandemi COVID-19 menjadi pemacu utama pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Geliat ekonomi digital pun semakin tinggi sejak tahun lalu, dibuktikan dengan nilai transaksinya yang menyentuh Rp638 triliun.

Dari nilai tersebut, sektor e-commerce menjadi penunggang utama perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Sektor ini secara simultan memantik pertumbuhan sektor pendukung lainnya.

Kendati demikian, sektor e-commerce memang sudah melaju kencang sejak beberapa tahun terakhir. Menurut riset Google, Temasek, dan Brain bertajuk e-Conomy SEA 2020, Gross Merchandise Value (GMV) dari e-commerce mampu tumbuh 1.135,3% dari US$1,7 miliar pada 2015 menjadi US$21 miliar pada 2019.

Nilai itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain seperti online travel agency (OTA) yang hanya mampu tumbuh 100% dari US$5 miliar pada 2015 menjadi US$10 miliar pada 2019.

Tren pertumbuhan pesat sektor e-commerce itu diprediksi bakal menembus US$82 miliar pada 2025. Sejalan dengan pertumbuhan GMV, derasnya investasi yang mencapai US$2,8 miliar sepanjang semester I-2020 semakin menambah “bahan bakar” ekonomi digital Indonesia, terutama e-commerce.

Mengapa E-commerce Moncer di Indonesia?
Warga mengakses website Bukalapak di Jakarta, Kamis, 24 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Head of Center Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan sektor e-commerce memang menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia. Besarnya potensi di sektor itu membuat pemain-pemain e-commerce semakin ramai di Indonesia.

“70 persen lebih ekonomi digital Indonesia disumbang oleh e-commerce. Dengan IPO Bukalapak maka akan lebih meningkatkan lagi proporsi e-commerce terhadap ekonomi digital nasional,” ucap Huda saat berbincang dengan wartawan Trenasia.com, Sabtu, 10 Juli 2021.

Huda menjelaskan pesatnya perkembangan e-commerce tidak bisa lepas dari struktur perekonomian Indonesia yang masih tradisional. Menurutnya, tersedianya pasar baru bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi alasan utama mengapa sektor ini melaju kencang di Indonesia.

Seperti diketahui, UMKM menguasai setidaknya 61,07% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau setara Rp8.573 triliun pada 2020.

Kedua, berkah penetrasi internet yang begitu tinggi di Indonesia. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan sebanyak 202,6 juta masyarakat Indonesia atau 73,7% dari total populasi telah menggunakan internet per Januari 2021.

Lalu, sektor ini telah dinilai begitu “seksi” oleh investor sehingga dukungan pendanaan lebih terbuka dibandingkan dengan sektor lainnya. Tengok saja Bukalapak yang rupanya menghimpun dana dari 55 investor.  Berikut beberapa investor raksasa dan porsi kepemilikannya setelah start up tersebut melakukan IPO:

InvestorNominal investasiJumlah sahamPersentase kepemilikan
Achmad Zacky SyarifudinRp222,62 miliar4.452.515.6744,32%
API Hong Kong  InvestmentRp672,41 miliar13.448.351.57313,05%
PT Kreatif Media Karya (EMTK Group)Rp1,23 triliun24.661.347.28323,93%
Archipelago Investment Pte. LtdRP486,82 miliar9.736.593.6779,45%
Investor PublikRp21,9 triliun25.765.504.85125%
Sumber Data: Prospektus PT Bukalapak Tbk (BUKA)

Tidak kalah penting, Huda menilai kemampuan pemain e-commerce dalam melakukan pemasaran patut diacungi jempol. Dirinya menyebut pemain e-commerce lebih cepat menangkap tren yang tengah hangat diperbincangkan oleh masyarakat dan mengubahnya menjadi celah mendulang keuntungan.

Masih lekat di ingatan saat seluruh pemain e-commerce berlomba hadirkan artis K-Pop sebagai alat jualan sejak tahun lalu. Bukalapak berhasil menggandeng aktor Lee Min Ho, Shopee bersama girl group Gfriend, hingga Tokopedia yang bekerja sama dengan boy group BTS.

Tren bergeser, pemain e-commerce langsung bisa banting setir mencari tokoh yang populer sebagai “wajah” utama platform-nya masing-masing. Shopee menggaet pemain sinema elektronik (sinetron) “Ikatan Cinta” Arya Saloka dan Amanda Manopo atau Vincent Rompies dan Desta bersama Bukalapak.

“Pemasaran dari sejumlah pemainnya yang saya kira ikut mendorong sektor ini berkembang pesat juga,” ujar Huda.

Efek Berantai
Kolaborasi dua start up raksasa Indonesia, Gojek dan Tokopedia / Dok. Gojek

Efek pertumbuhan pesat sektor e-commerce ikut dinikmati oleh sektor-sektor lainnya yang terlibat dalam ekosistem jual beli daring tersebut. Huda merinci logistik dan bank digital yang paling terkena berkah pertumbuhan e-commerce.

“Logistik yang saat ini kinerjanya ikut moncer juga. Salah satu start up logistik teknologi (tech-logistic) digital Indonesia baru mendapatkan pendanaan jumbo yang menunjukkan adanya korelasi positif dari e-commerce dan logistik,” jelas Huda

Dia adalah start up logistik SiCepat yang berhasil meraih pendanaan Seri B senilai US$170 juta atau setara Rp2,4 triliun.  Pendanaan ini menjadi nominal terbesar pada putaran seri B bagi start up di Asia Tenggara. Ada nama-nama besar di balik investasi seri B tersebut, di antaranya anak usaha Temasek Holdings Pavillion Capital dan Modal Ventura Telkom Group MDI Ventures.

Huda menilai kinerja sektor logistik terdorong oleh adanya sektor e-commerce di Indonesia. Berkat e-commerce, pasar logistik diestimasikan bisa mencuat hingga US$221 miliar pada 2025.

PerusahaanTotal PendanaanTahun Berdiri
GojekUS$4,78 miliar2010
SiCepatUS$324 juta2014
WaresixUS$129 juta2017
ShipperUS$88 juta2016
KargoUS$39 juta2018
Sumber data: Tracxn
Mitra Driver Gojek menunggu customer di dekat logo Bank Jago di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia

Dapat dilihat, pertumbuhan start up di bidang logistik Indonesia tergolong pesat. Dengan umur perusahaan yang masih belum terlalu panjang, start up tersebut sudah berhasil meraih total pendanaan yang tinggi dan kinerja yang semakin moncer.

Berbeda dengan sektor logistik yang berkahnya sudah terasa, dampak terhadap sektor bank digital dinilai masih belum bisa terasa. Hal ini dikarenakan adanya gap antara kecepatan perkembangan layanan dengan penerbitan regulasi.

Huda mengakui perkembangan bank digital memang terganjal oleh aspek regulasi yang masih belum saklek. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih belum menerbitkan beleid anyar soal operasional bank digital di Indonesia.

Meski begitu, Huda menyebut penetrasi pemain e-commerce untuk merambah ke sektor bank digital sudah terasa. Hal itu tampak dari induk usaha Shopee, yakni SEA Group yang mencaplok Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Sejumlah bank pun sudah ancang-ancang lebih dulu dengan meminta izin operasional ke OJK. Bank tersebut antara lain PT Bank BTPN Tbk (BTPN) melalui aplikasi perbankan digitalnya yakni Jenius. PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Bank KB Bukopin Tbk (BBKP) lewat Wokee hingga PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) milik taipan Chairul Tanjung.

Lalu ada PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), kemudian ada PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI). Selanjutnya, bank swasta terbesar di Tanah Air milik konglomerat paling tajir Keluarga Hartono, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang mengakuisisi Bank Royal untuk membentuk bank digital.

Huda menyebut langkah itu menjadi penanda arus transaksi di e-commerce bakal semakin deras seiring adanya penetrasi anyar bank digital. Bahkan tanpa didorong bank digital, nilai transaksi e-commerce di Indonesia hingga kuartal I-2021 sudah menembus Rp88 triliun.

Angka itu disebut bisa semakin tinggi bila OJK sudah merilis regulasi soal bank digital yang rencananya terbit pada semester II-2021.

“Dari sisi pembayaran juga akan meningkat tentu. Dengan perkembangan sektor e-commerce yang ada dan sektor yang masuk dalam ekosistemnya, termasuk pembayaran digital, e-commerce kita bersaing di tingkat regional ASEAN,” tegas Huda. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Booming Tren Daring.”