<p>Gerai ritel modern Hyfresh Supermarket milik PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) dari Lippo Group / Facebook @hyfreshid</p>
Industri

Booming Tren Daring (Serial 3): Mereka yang Terjungkal karena Ekonomi Digital

  • Tumbuh pesatnya ekonomi digital dalam sedekade terakhir ternyata tidak membawa berkah bagi semua pihak. Tidak sedikit lini bisnis yang harus tertekan bahkan gulung tikar akibat ekspansifnya ekonomi digital belakangan ini.

Industri

Reza Pahlevi

JAKARTA – Tumbuh pesatnya ekonomi digital dalam dalam satu dekade terakhir tidak selamanya membawa berkah bagi semua pihak. Tidak sedikit lini bisnis yang harus tertekan bahkan gulung tikar akibat ekspansifnya ekonomi gaya baru tersebut belakangan ini.

Banyaknya bisnis yang gulung tikar ini terjadi di banyak negara, mulai dari Amerika Serikat (AS), Eropa, hingga Indonesia. Jika dilihat dari lini bisnisnya, perusahaan-perusahaan yang gulung tikar ini beragam mulai dari bisnis ritel seperti supermarket atau department store hingga bisnis media cetak.

Untuk bisnis ritel, data CBInsights.com mencatat ada 128 perusahaan ritel di AS yang bangkrut sejak 2015. Ini berarti ribuan gerai harus tutup selama periode tersebut. Perusahaan ritel raksasa seperti Sears dan JCPenney pun ikut kena imbasnya.

CBInsights.com menyebutkan kehadiran situs e-commerce raksasa seperti Amazon bukan satu-satunya alasan perusahaan-perusahaan ritel ini bangkrut. Perusahaan-perusahaan tersebut bangkrut juga karena utang yang menggunung, aksi korporasi buntung, serta kurangnya usaha mereka beradaptasi mencari untung.

Sebelum ada pandemi COVID-19, mal-mal di AS memang mengalami penurunan trafik yang signifikan. Adanya pandemi serta pembatasan kegiatan pun mengakselerasi senjakala bisnis ritel di AS. Pada 2020, CBInsights mencatat ada 40 perusahaan ritel yang bangkrut.

Di Inggris, data Centre for Retail Research (CRR) menunjukkan pandemi COVID-19 benar-benar menghantam bisnis ritel Inggris. Tercatat ada 54 perusahaan yang bangkrut sepanjang 2020. Ini pun berdampak terhadap 5.214 gerai serta 109.407 pegawai.

Debenhams, rantai ritel tertua di Inggris, pun ikut tersungkur di hadapan pandemi. Pada Desember 2020, perusahaan yang ada sejak 1778 ini mengumumkan likuidasi jadi satu-satunya opsi mereka. Perusahaan ritel daring, BooHoo, pun membeli merek dagang Debenhams serta menutup semua gerai fisiknya. Selanjutnya, nama Debenhams hanya dijual daring.

“Dalam 35 tahun terakhir, Debenhams terus berganti kepemilikan tanpa ada satu pun yang berkomitmen secara fundamental terhadap masa depan Debenhams Group atau pun bisa membuat strategi jangka panjang yang koheren,” tulis CRR dalam laporannya.

Selain Debenhams, ada juga Arcadia yang bangkrut pada tahun yang sama. Sebagai informasi, Arcadia adalah pemilik merek dagang Topshop dan Topman yang juga dijual di Indonesia. Perusahaan ritel daring Inggris, ASOS, pun membeli situs-situs daring Arcadia tersebut tanpa membeli gerai-gerai fisik mereka.

Di Indonesia, bisnis ritel juga menunjukkan kemunduran yang disebabkan oleh perubahan perilaku konsumen di hadapan situs jual beli daring serta dipercepat dengan adanya pandemi. Sebelumnya, TrenAsia.com juga pernah mengkompilasi bisnis-bisnis ritel yang berguguran setelah dan sebelum pandemi.

Paling terbaru adalah PT Hero Supermarket Tbk (HERO) yang menutup seluruh gerai Giant di Indonesia pada akhir Juli 2021. Beberapa gerai yang ditutup tersebut rencananya diubah menjadi lini bisnis HERO lainnya, yaitu Ikea dan Hero Supermarket.

Selain itu, perusahaan ritel fesyen milik grup Lippo, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), juga terus menutup gerai-gerainya meski belum menutup seluruhnya seperti Giant. Tahun lalu, LPPF tercatat menutup 25 gerainya dengan 13 gerai lagi rencananya akan ditutup pada tahun ini.

Iklan Mulai Digital, Media Cetak Kian Terpental
Surat kabar Amerika Serikat/Foto:Financial Times

Pesatnya perkembangan teknologi digital pun turut berdampak terhadap ceruk pasar media cetak. Tidak hanya pembaca yang berpindah dari cetak ke digital tetapi para perusahaan-perusahaan pun mulai meninggalkan format cetak untuk belanja iklannya.

Di Amerika Serikat, iklan digital pertama kali mengungguli iklan tradisional seperti di televisi (TV), radio, dan surat kabar pada 2019. Data eMarketer yang dikutip dari Vox, menunjukkan US$129,34 miliar (sekitar Rp1,8 kuadriliun) belanja iklan digunakan untuk iklan digital. Jumlah ini lebih besar dari belanja iklan tradisional yang besarnya US$109,48 miliar (Rp1,5 kuadriliun).

Perkembangan ini tergolong cepat, pada 2015 lalu porsi iklan digital di AS hanya setengahnya iklan tradisional. Cepatnya perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari dua raksasa teknologi AS, yaitu Facebook dan Google. Mereka pula yang mendominasi iklan digital AS dengan pangsa pasar 60% jika dikombinasikan.

Mulai seretnya pendapatan iklan ini pun membuat media-media AS, terutama media-media daerah, bertumbangan. Perusahaan surat kabar terbesar AS, Gannett Co. Inc., mulai menghentikan penerbitan surat kabar daerahnya seperti Courier Journal, The Herald Tribune, dan lain-lain pada 2020.

Tidak hanya itu, Gannett juga memotong biaya dan merumahkan ribuan karyawannya sepanjang 2020 lalu. Selain iklan yang habis digarap Google dan Facebook, Gannett menyebut ongkos produksi surat kabar yang besar membuat mereka melakukan hal tersebut.

Sebagai informasi, Garnett memiliki 100 surat kabar harian dan sekitar 1.000 surat kabar mingguan yang tersebar di 43 negara bagian AS dan 6 negara lainnya. Garnett memiliki surat kabar nasional USA Today, serta media-media daerah seperti Detroit Free Press, The Indianapolis Star, dan Great Falls Tribune.

Di Indonesia, porsi belanja iklan digital masih belum sebesar di Amerika Serikat. Selain penetrasi teknologi yang belum semasif AS, televisi masih menjadi format media yang populer di Indonesia.

Tahun lalu, data Nielsen menunjukkan belanja iklan di Indonesia tercatat sebesar Rp229 triliun, baik di televisi, cetak, radio, maupun digital. Meski ada pandemi, jumlah ini naik 22,5% dari 2019 yang sebesar Rp182 triliun.

Dari jumlah belanja iklan tersebut, televisi masih mendominasi dengan penetrasi 86%. Penetrasi tersebut sebenarnya tercatat terus merosot sejak 5 tahun terakhir, dari sekitar 96% jadi 86%.

Penurunan ini besar disebabkan oleh pertumbuhan cukup signifikan dari belanja iklan digital. Nielsen tidak menyebut spesifik nilai belanja iklan digital pada 2020, tetapi mereka menyebut terjadi kenaikan sebanyak 4 kali lipat dibanding 2019.

Di sisi lain, belanja iklan media cetak terus porsinya terus menurun sejak 6-7 tahun yang lalu. Jumlah pembaca yang semakin seret serta kenaikan harga bahan produksi memperburuk keadaan media cetak.

Pada 2016, wartawan kawakan Harian Kompas, Bre Redana, menulis “Inikah Senjakala Kami” di medianya yang menggambarkan wartawan media cetak yang nasibnya terus tergerus di tengah pesatnya perkembangan media daring di Indonesia.

“Kami wartawan media cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat,” tulisnya.

Media-media cetak memang tercatat berguguran sejak 2015. Surat kabar berbahasa Inggris di bawah konglomerasi Lippo, Jakarta Globe, berhenti terbit pada Desember 2015. Di bulan yang sama, surat kabar harian sore Sinar Harapan juga berhenti terbit.

Sejak tulisan tersebut terbit, media-media cetak lain pun menyusul ke liang lahat. Pada 2017, surat kabar di bawah konglomerasi media Hary Tanoesoedibjo, Koran Sindo, menutup biro daerahnya.

Selain itu, edisi Minggu Galamedia (Grup Pikiran Rakyat), edisi Minggu Koran Tempo (Tempo Media Group), Harian Bola, sampai majalah remaja legendaris HAI (Kompas Gramedia) ikut-ikutan berhenti beroperasi.

Kompas Gramedia bahkan menutup edisi cetak delapan produknya pada 2016, yaitu Kawanku, Sinyal, Chip, Chip Foto Video, What Hi Fi, Auto Expert, Car and Tuning Guide, dan Motor. Kedelapan produk ini lalu dikonvergensikan menjadi cewekbanget.id dan grid.co.id.

Selama pandemi 2020 lalu, beberapa media cetak pun sempat memberikan opsi pensiun dini atau pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan-karyawannya. Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya melihat ini terjadi di surat kabar harian Jawa Pos.

Selain itu, Tempo juga mem-PHK beberapa karyawannya. AJI menyebut beberapa karyawan Tempo yang di-PHK tersebut selanjutnya ditawarkan bekerja sebagai kontributor dengan basis kontrak.

Surat kabar berbahasa Inggris, The Jakarta Post, juga mem-PHK dua per tiga dari jumlah karyawannya untuk meningkatkan efisiensi dan meringankan beban perusahaan.

Yang terbaru, surat kabar harian milik grup Lippo, Suara Pembaruan, mengumumkan mereka berhenti terbit per 1 Februari 2021. Pada 2020 lalu, surat kabar ini sempat mengubah formatnya yang awalnya terbit sore hari menjadi pagi hari.

Beritasatu Media Holdings, lini bisnis media grup Lippo, menjelaskan tutupnya Suara Pembaruan diambil akibat berubahnya perilaku pembaca yang kini lebih memilih media digital. Ini berarti media Beritasatu Media Holdings yang tersisa adalah Beritasatu.com, Investor.id, Beritasatu TV, Harian Investor Daily, Majalah Investor, dan Jakartaglobe.id.

Adaptasi atau mati?
Ritel Giant Express milik PT Hero Supermarket Tbk yang harus ditutup / Dok. Giant Indonesia

Beberapa perusahaan-perusahaan di lini bisnis ritel dan media ini pun mulai beradaptasi dengan mengedepankan bisnis digitalnya. Di Indonesia, perusahaan ritel PT Mitra Adi Perkasa Tbk (MAPI) yang menjual jenama fesyen menengah-atas adalah salah satu yang dapat dianggap berhasil melakukan adaptasi ini.

MAPI menjadi salah satu usaha ritel fesyen fisik yang memiliki kontribusi pendapatan digital terhadap total pendapatan di angka dua digit. Pada kuartal I-2021, penjualan daring MAPI meningkat 300% dibandingkan dengan tahun lalu. Ini pun membuat kontribusi penjualan daring menjadi 10,9%.

Penjualan digital MAPI didukung oleh program keanggotaan MAP Club. Seperti keanggotaan ritel lainnya, MAP Club memberikan promosi dan poin yang dapat dipakai untuk belanja lagi di gerai-gerai MAPI.

Selama pandemi ini, MAPI juga terus menggenjot penjualan online lewat platform miliknya sendiri seperti Mapemall dan Mono-brand. Selain itu, MAPI juga hadir di situs-situs marketplace juga layanan O2O Chat & Buy.

Di media, perusahaan-perusahaan pun mulai mengedepankan media-media daring mereka. Meski begitu, sepertinya ini juga bukan langkah yang tepat karena dominasi Google dan Facebook di pasar iklan digital.

The New York Times menyiasati ini dengan mengedepankan langganan digital mereka. Per Mei 2021, jumlah pelanggan The New York Times tercatat 7,8 juta pelanggan. Dari jumlah tersebut, sebagian besarnya atau 6,9 juta pelanggan didapat dari produk digital mereka.

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) menyebut belanja iklan digital di Indonesia pun masih dinikmati oleh platform global, bukan lokal. PPPI mencatat sebanyak 75% pangsa belanja iklan digital di Indonesia dinikmati oleh Facebook (termasuk Instagram) dan Google (termasuk Youtube).

Dengan dasar tersebut, beberapa media besar di Indonesia pun mulai mengikuti langkah The New York Times. Harian Kompas kini dapat dibaca dengan mudah lewat kompas.id atau aplikasinya di Play Store dan App Store.

Berdasarkan penelitian berjudul “Transformasi Harian Kompas Menjadi Portal Berita Digital Subscription Kompas.id” di Jurnal Kajian Jurnalisme, kompas.id berhasil memiliki 70.000 pelanggan dan 350.000 pendaftar per September 2018. Angka ini diperkirakan akan naik terus setiap tahunnya.

Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Paulus Tri Agung Kristanto mengatakan Kompas mengubah konsep kompas.id yang sebelumnya hard paywall menjadi premium pada 2018. Ini berarti beberapa konten di kompas.id bisa dinikmati gratis.

“Pertumbuhan pelanggan digital lumayan tinggi dan melegakan. Kita terus inovasi untuk gaet pelanggan muda,” ujar Paulus dalam webinar bersama Telum Media beberapa waktu lalu.

rtikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Booming Tren Daring.”

  1. Booming Tren Daring (Serial 1): Menelisik Motor Penggerak Ekonomi Digital RI
  2. Booming Tren Daring (Serial 2): Mendadak Kaya Gara-Gara Ekonomi Digital