BPK: Potensi Cuan Gas Rp90 M dari Proyek Jambaran-Tiung Biru Terbang
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti proyek pembangunan Lapangan Gas Unitisasi Jambaran-Tiung Biru (JTB). Hal ini setelah salah satu potensi pendapatan negara dari penjualan gas hilang dampak terlambatnya pembangunan. Tak tanggung-tanggung, potensi cuan yang hilang akibat problem tersebut mencapai US$5,84 juta atau setara Rp90,4 miliar.
Energi
JAKARTA—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti proyek pembangunan Lapangan Gas Unitisasi Jambaran-Tiung Biru (JTB). Hal ini setelah salah satu potensi pendapatan negara dari penjualan gas hilang dampak terlambatnya pembangunan.
Tak tanggung-tanggung, potensi cuan yang hilang akibat problem tersebut mencapai US$5,84 juta atau setara Rp90,4 miliar. Temuan itu tercantum dalam dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023.
Sebagai informasi, BPK menyelesaikan hasil pemeriksaan atas proyek JTB tahun 2017 hingga semester I 2022 pada SKK Migas, PT Pertamina EP Cepu (PT PEPC), dan instansi terkait di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
PT PEPC yang merupakan pemilik partisipasi (participating interest) 45% pada WK Cepu ditunjuk sebagai Operator Lapangan Gas Unitisasi JTB. Pada 20 September 2022, JTB mulai melakukan kegiatan on stream gas.
- Sambut Libur Nataru, Garuda Indonesia Siapkan 1,89 Juta Kursi
- Pewaris Grup Astra Tadah Dividen Interim Tower Bersama (TBIG) Rp1,78 Miliar
- Kasus Impor LNG, Karen Agustiawan Gugat PwC Rp1,2 T
Problem signifikan yang ditemukan yakni hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dikelola Konsorsium Rekind, JGC dan JGC Indonesia (RJJ) belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
BPK mengungkap keterlambatan pelaksanaan pekerjaan EPCC GPF yang mengakibatkan kelebihan pembebanan biaya operasi atas hasil pekerjaan EPCC GPF tidak sesuai lingkup pekerjaan minimal sebesar US$9,52 juta.
Selain itu, denda keterlambatan berpotensi tidak menambah bagi hasil bagian negara sebesar US$ 82,79 juta. “Negara kehilangan potensi pendapatan dari gas yang tidak dapat dijual untuk periode 20 September-18 November 2022 karena belum selesainya seluruh GPF minimal sebesar USD 5,84 juta,” terang BPK, dikutip Rabu, 6 Desember 2023.
Ada pula pengurangan lingkup pekerjaan dan deviasi spesifikasi teknis hasil pekerjaan yang belum ditetapkan sebagai contract change order (CCO) pengurang nilai kontrak EPCC GPF sebesar USD 6,99 juta. ”Volume item pekerjaan terpasang yang kurang dari dokumen pendukung pembayaran sebesar US$2,53 juta,” lanjut BPK.
Denda Keterlambatan
BPK mengungkapkan empat temuan yang memuat tujuh permasalahan dalam hasil pemeriksaan atas pengembangan Lapangan Gas Unitisasi JTB secara keseluruhan. “Permasalahan itu meliputi satu kelemahan SPI dan enam ketidakpatuhan sebesar Rp40,65 miliar dan US$103,37 juta atau total ekuivalen Rp 1,59 triliun,” jelas BPK.
Lembaga tersebut merekomendasikan Kepala SKK Migas agar memerintahkan Kepala Unit Percepatan Proyek (UPP) JTB SKK Migas berkoordinasi dengan Direktur Utama PT PEPC. “Untuk menetapkan CCO EPCC GPF minimal sebesar US$6,99 juta dan memperhitungkannya sebagai pengurang nilai amandemen kontrak,” lanjut BPK.
BPK juga mendorong pengenaan denda keterlambatan kepada Konsorsium RJJ sebesar US$82,79 juta, dan segera menyelesaikan pekerjaan EPCC GPF. Kemudian, memerintahkan Kepala Divisi Pemeriksaan Perhitungan Bagian Negara SKK Migas untuk tidak memperhitungkan biaya item pekerjaan yang kurang terpasang dalam close out Authorization for Expenditure (AFE) GPF minimal sebesar US$2,53 juta.
“Serta memperhitungkan denda keterlambatan sebagai pengurang nilai proyek pada proses close out AFE GPF,” pungkas BPK.