Karyawan beraktivitas di kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Senin, 9 Mei 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Nasional

BPK Temukan Masalah BPR Sekar hingga Sewu Bali dalam Laporan LPS

  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setidaknya menemukan 3 masalah dalam laporan keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Nasional

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah yang perlu diperhatikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terkait Laporan Keuangan Tahun 2022. 

Dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHSP I) 2023 dari BPK, adapun permasalahan yang ditemukan ini terkait dengan sistem pengendalian intern (SPI) dan juga sistem kepatuhan. 

Kendati demikian, permasalahan tersebut dinilai BPK tidak memengaruhi secara material terhadap kewajaran penyajian LK LPS Tahun 2022.

Berikut masalah yang ditemukan BPK dalam laporan keuangan LPS:

Masalah Terkait Likuidasi BPR Sewu Bali

Salah satu permasalahan yang ditemukan adalah terkait pengakuan aset nontunai dan potensi pendapatan pengembalian klaim dari likuidasi Badan Perkreditan Rakyat (BPR) Sewu Bali. 

Pihak LPS disarankan untuk mengelola hal ini sesuai ketentuan, agar tidak menimbulkan beban yang lebih tinggi, meningkatkan capaian kinerja, dan mengurangi risiko kehilangan aset nontunai.

BPK merekomendasikan agar Ketua Dewan Komisioner LPS memerintahkan Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank untuk berkoordinasi dengan Direktur Eksekutif Keuangan. 

Mereka diminta mengevaluasi dan menetapkan target pendapatan pengembalian klaim dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2023, serta menyusun kajian mengenai pengaturan penerimaan dan pencatatan aset nontunai secara on-balance sheet.

Untuk diketahui, berdasarkan Keputusan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor KEP-33/D.03/2021 tanggal 2 Maret 2021, izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Sewu Bali yang beralamat di Jalan Dr. Ir Soekarno, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali telah dicabut. Keputusan ini berlaku efektif sejak tanggal 2 Maret 2021.

Akibat dari pencabutan izin tersebut, BPR Sewu Bali diwajibkan untuk menutup kantornya untuk umum dan menghentikan seluruh kegiatan usahanya. Proses penyelesaian hak dan kewajiban PT BPR Sewu Bali akan dilakukan oleh Tim Likuidasi yang akan dibentuk oleh LPS sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.

Pengurus dan pemilik PT BPR Sewu Bali dilarang melakukan segala tindakan hukum yang berkaitan dengan aset dan kewajiban BPR, kecuali dengan mendapatkan persetujuan tertulis dari LPS. 

Penjualan/Pengalihan Hak Tagih BPR Sekar

Permasalahan lain terkait penjualan/pengalihan hak tagih atas piutang (cessie) BPR Sekar, yang tidak menghasilkan pendapatan optimal dan dapat menimbulkan risiko permasalahan hukum. 

BPK merekomendasikan agar Ketua Dewan Komisioner LPS memerintahkan Kepala Eksekutif untuk menyusun ketentuan yang mengatur penjualan cessie dan melakukan pemeriksaan investigatif terhadap lelang cessie pada BPR Sekar.

Sebagai informasi, pada tanggal 17 Maret 2020, Keputusan Anggota Dewan Komisioner (KADK) Nomor KEP-38/D.03/2020 diterbitkan, menandai pencabutan izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Sekar. 

Langkah ini diambil setelah pertimbangan serius terkait dengan kondisi keuangan yang merosot dan permasalahan internal yang tak terselesaikan.

Sejarah pencabutan izin ini dapat ditelusuri hingga 8 November 2019, ketika PT BPR Sekar telah ditetapkan sebagai Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) sesuai dengan POJK Nomor 19/POJK.03/2017 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 56/SEOJK.03/2017. 

Penetapan ini dilakukan karena rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) di bawah 4% dan tingkat kesehatan yang dikategorikan Tidak Sehat.

Langkah ini sejalan dengan peraturan perbankan yang berlaku, yang bertujuan memberikan kesempatan kepada Pengurus/Pemegang Saham Pengendali untuk melakukan upaya penyehatan. 

Namun, upaya tersebut tidak mampu memulihkan kondisi keuangan BPR Sekar, terutama dalam mencapai rasio KPMM yang disyaratkan, yaitu paling kurang 12%.

Keputusan untuk mencabut izin usaha ini didorong oleh fakta bahwa penyaluran kredit tidak mematuhi prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Meskipun telah diberikan waktu tertentu untuk melakukan perbaikan, namun kondisi BPR Sekar semakin memburuk.

OJK mengambil tindakan ini setelah mendapatkan pemberitahuan dari LPS. Dengan pencabutan izin usaha, tanggung jawab penjaminan diserahkan kepada LPS sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.

Penerimaan Tenaga Ahli dan Stafsus yang Tidak Melibatkan Konsultan

Selain itu, BPK juga menyoroti permasalahan terkait penerimaan tenaga ahli dan staf khusus LPS yang tidak melibatkan konsultan rekrutmen dan melanggar kebijakan THR dan uang penghargaan. 

BPK menyarankan LPS untuk mengevaluasi ketentuan rekrutmen untuk memastikan sesuai dengan kebutuhan dan menetapkan dasar pemberian uang penghargaan dan THR sesuai ketentuan yang berlaku.