Gedung Telkom di kawasan Jl Gatot Subroto Jakarta. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
BUMN

BPK Temukan Problem Kronis di 11 BUMN

  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 11 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak perusahaannya memiliki permasalahan yang krusial. Hal itu diketahui dari pemeriksaan dalam pengelolaan pendapatan hingga investasi BUMN periode 2017-2022.

BUMN

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 11 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak perusahaannya memiliki permasalahan yang krusial. Hal itu diketahui dari pemeriksaan dalam pengelolaan pendapatan hingga investasi BUMN periode 2017-2022. 

Temuan tersebut terungkap dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2023 yang dibacakan di Rapat Paripurna DPR RI ke-10 Masa Persidangan II 2023-2024 di Gedung DPR, Selasa 5 Desember 2023. 

Ketua BPK Isma Yatun mengatakan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam IHPS 2023, di antaranya atas pendapatan biaya dan investasi pada 11 BUMN atau anak perusahaannya dengan permasalahan signifikan. "Itu antara lain pemberian uang muka perikatan perjanjian jual beli gas (PJBG) tidak didukung mitigasi risiko dan jaminan memadai,” ujar Isma.  

Merujuk dokumen IHPS I 2023, ada 11 objek yang diperiksa dari 11 perusahaan milik negara tersebut. Hasilnya, ada satu objek pemeriksaan tidak sesuai kriteria, sedangkan sisanya sesuai kriteria dengan pengecualian.

Sejumlah BUMN atau anak perusahaan yang diperiksa BPK antara lain PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero), hingga PT Waskita Karya (Persero) Tbk. 

Pemeriksaan meliputi kegiatan pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi 11 BUMN tersebut pada kurun waktu 2017-2022. BPK menemukan PJBG sebesar US$15 juta oleh PT PGN kepada PT IAE tidak didukung mitigasi risiko memadai. BPK memiliki empat catatan terhadap hal tersebut. 

Pertama, PJBG tidak mengacu pada kajian tim internal atas mitigasi risiko dan cost benefit analysis. Kedua, tidak didukung jaminan yang memadai, yakni dokumen parent company guarantee tidak dieksekusi PT PGN dan nilai jaminan fidusia berupa jaringan pipa PT BIG senilai Rp16,79 miliar yang jauh lebih kecil dibandingkan nilai uang muka yang diberikan.

Ketiga, PGN tidak memperhatikan kebijakan pemerintah atas larangan transaksi gas secara bertingkat karena pembelian gas kepada PT IAE yang bukan produsen gas. Keempat, tidak melalui analisis keuangan dan due diligence yang memadai. 

Ini ditunjukkan dengan nilai current liability PT IAE yang lebih besar dibandingkan current asset. Hal itu, tulis BPK, mengakibatkan sisa uang muka sebesar US$14,19 juta berpotensi tidak tertagih yang dapat membebani keuangan perusahaan. 

BPK merekomendasikan direksi PT PGN untuk mengoptimalkan pemulihan piutang uang muka kepada PT IAE sebesar US$14,19 juta. “Serta berkoordinasi dengan direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum,” ujar Isma.