BPKN: Perlu Pendekatan Baru Menyelesaikan Masalah Rokok
- BPKN mendorong pemerintah membuat pendekatan baru untuk menekan prevalensi merokok sekaligus melindungi konsumen.
Nasional
JAKARTA – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendorong pemerintah membuat pendekatan baru untuk menekan prevalensi merokok di Tanah Air sekaligus melindungi konsumen. Sebab regulasi yang diterapkan sejauh ini seperti kebijakan kawasan bebas rokok, gambar peringatan kesehatan, larangan iklan, dan promosi kesehatan, tidak cukup mengurangi prevalensi merokok.
Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN Arief Safari menjelaskan angka perokok di Indonesia sangat tinggi. Pada saat bersamaan, muncul produk tembakau alternatif seperti tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan kantung nikotin. Produk ini bisa membawa dampak menurunkan prevalensi perokok di Indonesia, namun belum didukung regulasi.
“Oleh karena itu perlu adanya pendekatan berbeda dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mengedepankan produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan sebagainya,” kata Arief, belum lama ini.
- Waskita Karya (WSKT) Buka Lowongan Kerja, Cek Detailnya
- Siapkan Dana Rp3,3 Triliun, MNC Studios (MSIN) Berencana Akuisisi 3 Perusahaan
- Ingin Kaya Raya? Coba Tiru Cara Mengelola Keuangan ala Warren Buffett
Menurut dia, regulasi rokok alternatif untuk menekan prevalensi perokok sekaligus melindungi konsumen sudah sepatutnya mulai disusun. Namun penyusunan regulasi harus berbasis pada kajian ilmiah bagi produk tembakau alternatif.
Arief mendukung penggunaan produk tembakau alternatif karena tidak menghasilkan asap dan TAR, berbeda dari rokok pada umumnya. Lantaran menerapkan sistem pemanasan sehingga produk tembakau alternatif mampu mengurangi potensi risiko produk dan konsumen tetap dapat memperoleh asupan nikotin.
“Penggunaan dari produk-produk alternatif ini harus diperkuat regulasi yang sesuai dengan kajian ilmiah sebagai basis. Jadi harus dilakukan dulu uji profil risiko melalui sebuah penelitian,” ujar Arief.
Apabila hasil dari kajian ilmiah terbukti efektif mengurangi risiko bagi perokok, pemerintah selanjutnya menyusun regulasi sesuai hasil temuan tersebut. Hal ini juga bertujuan untuk memberi perlindungan bagi konsumen.
Dalam perumusan regulasi, Arief menyarankan pemerintah untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan lainnya. Ataupun membentuk tim satuan tugas di tingkat kementerian yang lintas sektoral sesuai kebutuhannya.
“Tim ini akan terus bekerja sampai regulasi tersebut sesuai dan diterbitkan,” ujarnya.
Arief meneruskan aturan tersebut nantinya turut mencakup hak-hak konsumen. Kehadiran regulasi juga akan mencegah terjadinya penyalahgunaan produk ini.
“Dengan hadirnya regulasi berbasis ilmiah, prevalensi merokok di Indonesia dapat ditekan. Perlu diakui produk ini tidak sepenuhnya bebas risiko, namun dapat dikedepankan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut karena memiliki risiko lebih rendah hingga 95% daripada rokok,” ujarnya.
Sementara ini, pemerintah dapat menggunakan hasil kajian ilmiah yang telah dilakukan di berbagai negara, seperti riset yang dilakukan Public Health England dari Inggris, sebagai landasan dalam perumusan regulasi. Meski demikian, pemerintah diminta melakukan riset tersendiri sebagai data pembanding risiko antara produk tembakau alternatif dengan rokok, mengingat karakter perokok perokok di Indonesia berbeda dengan negara lain.
“Penelitian ini penting agar tidak timbul rumor yang beredar tanpa dasar ilmiah yang akhirnya dianggap sesuatu kebenaran sehingga bisa jadi kontraproduktif terhadap upaya pemerintah dalam mengurangi dampak rokok,” katanya.
Aturan Bagi Produk Tembakau Alternatif
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan mendukung adanya peraturan khusus bagi produk tembakau alternatif. Demi mendorong peralihan dan dengan adanya bukti ilmiah bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok, maka regulasi penting diterapkan.
Satria meyakini, kehadiran regulasi juga akan mempermudah pemerintah untuk mengoptimalkan potensi produk tersebut dalam menangani masalah rokok di Indonesia.
“Regulasi harus segera diformulasikan berdasarkan pada data lapangan terkait bagaimana perilaku orang merokok, bagaimana hasil kajian terhadap pengurangan risikonya, dan sebagainya. Dalam prosesnya, pemerintah perlu mempertimbangkan masukan semua pihak, termasuk dari kalangan konsumen,” ujarnya.