Ilustrasi orang di luar bank. (Freepik/pch.vector)
Perbankan

BPR Terancam: Penyebab, Penanganan, dan Dinamika Kebijakan OJK

  • Bagi BPR-BPRS yang tengah menjalani proses penyehatan, berbagai langkah korektif diterapkan, mulai dari penambahan setoran modal, aksi korporasi, hingga konsolidasi.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa proyeksi jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang dicabut izin usahanya bersifat sangat dinamis. Hal ini sepenuhnya bergantung pada kondisi internal bank yang bersangkutan. OJK sendiri tidak dapat memprediksi secara pasti BPR-BPRS mana yang akan mengalami pencabutan izin usaha (CIU) pada tahun tertentu.

“Situasi ini dipengaruhi oleh upaya penyehatan yang dilakukan oleh pengurus dan pemegang saham pengendali (PSP) BPR-BPRS, serta tindakan pengawasan yang diterapkan oleh OJK untuk menegakkan ketentuan perbankan,” ujar Dian dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Selasa, 7 Januari 2025. 

Upaya Penyehatan dan Resolusi Bank

Bagi BPR-BPRS yang tengah menjalani proses penyehatan, berbagai langkah korektif diterapkan, mulai dari penambahan setoran modal, aksi korporasi, hingga konsolidasi. 

Namun, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada pelaksanaan rencana tindak lanjut atau action plan yang dirancang. Rencana ini menentukan apakah status bank dapat kembali normal atau berubah menjadi bank dalam resolusi.

Dian juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) mengatur batas waktu maksimal satu tahun bagi bank dalam status penyehatan. 

Jika upaya selama periode tersebut gagal, maka status bank akan diubah menjadi bank dalam resolusi. Selanjutnya, bank tersebut diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk diputuskan apakah akan diselamatkan atau tidak.

“LPS saat ini tidak hanya berfungsi sebagai juru bayar, tetapi juga memiliki wewenang untuk melakukan penyehatan atau membiarkan bank masuk ke dalam proses likuidasi, bergantung pada kondisi BPR-BPRS tersebut,” tambah Dian.

Baca Juga: 20 BPR Dicabut Izinnya, OJK Terbitkan 3 Aturan Baru untuk Bank Perkreditan Rakyat

Faktor Utama Penyebab Pencabutan Izin Usaha

Sepanjang tahun 2024, OJK telah mencabut izin usaha 20 BPR-BPRS. Langkah ini dilakukan untuk menjaga stabilitas dan memperkuat industri perbankan mikro sekaligus melindungi kepentingan konsumen. Mayoritas kasus CIU disebabkan oleh tata kelola yang tidak optimal, yang sering kali berujung pada praktik fraud atau kecurangan.

“Sebagian besar penyebab CIU adalah penerapan tata kelola yang buruk sehingga terjadi fraud. OJK tidak hanya mencabut izin usaha, tetapi juga menindak hukum pihak-pihak yang terlibat sesuai ketentuan perundang-undangan,” jelas Dian.

Fraud di BPR-BPRS sering kali melibatkan pengurus bank, termasuk direksi, pegawai, bahkan calon debitur. Modus operandi yang kerap terjadi meliputi pemberian kredit tanpa proses penilaian yang memadai, kolusi antara direksi dan debitur, hingga kredit fiktif.

Daftar BPR-BPRS yang Dicabut Izinnya pada 2024

Sepanjang 2024, sebanyak 20 BPR-BPRS telah mengalami pencabutan izin usaha. Beberapa di antaranya adalah:

  • PT BPR Arfak Indonesia
  • PT BPR Kencana
  • PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan
  • PT BPR Duta Niaga
  • PT BPRS Kota Juang Perseroda
  • PT BPR Nature Primadana Capital
  • PT BPR Sumber Artha Waru Agung
  • PT BPR Lubuk Raya Mandiri
  • PT BPR Bank Jepara Artha
  • PT BPR Dananta
  • PT BPRS Saka Dana Mulia
  • PT BPR Bali Artha Anugrah
  • PT BPR Sembilan Mutiara
  • PT BPR Aceh Utara
  • PT BPR EDCCASH
  • Perumda BPR Bank Purworejo
  • PT BPR Bank Pasar Bhakti
  • PT BPR Madani Karya Mulia
  • PT BPRS Mojo Artho
  • Koperasi BPR Wijaya Kusuma

 

Dinamika Kebijakan OJK dan Peran LPS

Tingginya jumlah CIU pada 2024, yang jauh melampaui rata-rata tahunan sebanyak 6-7 BPR, menunjukkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh sektor ini. Namun, Dian memastikan bahwa lonjakan ini tidak menimbulkan goncangan signifikan pada industri perbankan.

“Penutupan ini adalah langkah untuk memperkuat industri secara keseluruhan, bukan pertanda instabilitas sistem keuangan,” tegasnya.

Ke depan, kolaborasi antara OJK, LPS, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat meningkatkan tata kelola, menekan praktik fraud, dan memperkuat stabilitas sektor BPR-BPRS. Pemanfaatan teknologi informasi serta penerapan pengawasan yang ketat menjadi kunci utama untuk mencegah masalah serupa di masa depan.