Industri

Bu Menkeu, Penyaluran Surat Utang Jumbo Harus Tepat Sasaran

  • JAKARTA – Anggota DPR Komisi XI, Ahmad Yohan menyebut pemerintah harus jeli menyalurkan pandemic bond kepada sektor-sektor yang dapat benar-benar tumbuh dan padat karya selama masa pandemi, agar peruntukkannya lebih tepat sasaran. Hal ini lantaran pemerintah masih memilih skema peruntukkannya, baik untuk diinvestasikan atau pembiayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui skema penyertaan modal negara […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Anggota DPR Komisi XI, Ahmad Yohan menyebut pemerintah harus jeli menyalurkan pandemic bond kepada sektor-sektor yang dapat benar-benar tumbuh dan padat karya selama masa pandemi, agar peruntukkannya lebih tepat sasaran.

Hal ini lantaran pemerintah masih memilih skema peruntukkannya, baik untuk diinvestasikan atau pembiayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui skema penyertaan modal negara (PMN).

“Pandemi bond ini skemanya akan dimasukkan sebagai below the line (BTL), sebagai dana pencadangan. Bukan untuk  menambal defisit anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN),” katanya dalam wawancara via WhatsApp dengan Trenasia, Rabu 16 April 2020.

Terlebih, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengoreksi target penerinaan pajak dalam APBN Perubahan 2020 dari 1.642,6 triliun menjadi Rp1.254,1 triliun.

Sehingga, banyak pakar yang mengkhawatirkan daya bayar hutang pemerintah di kemudian hari. Ditambah dengan tenor hutang yang diambil merupakan tenor terpanjang di sejarah RI, yakni 50 tahun.

Menjawab keraguan banyak pihak, pemerintah masih menggunakan dalil bahwa jika dilihat debt to GDP ratio, utang RI masih sehat, karena masih jauh di bawah 60%. Padahal, penghitungan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mengacu pada Dana Moneter Internasional (IMF) telah menuai banyak kritikan. 

“Yang paling relevan adalah pemerintah harus jujur, untuk melihat posisi utang dari sisi penerimaan atau rasio utang terhadap penerimaan negara (baik pajak dan non pajak),” tambah dia.

Sebagai informasi, pada 7 April 2020 lalu, Sri Mulyani mengumumkan Indonesia sebagai negara pertama penerbit surat utang terbesar dengan tenor terpanjang di tengah wabah virus corona (COVID-19) senilai US$4,3 miliar setara Rp68,8 triliun (kurs Rp16.000 per dolar Amerika Serikat).

Menteri Terbaik di Dunia (Best Minister in the World Award) di World Government Summit tersebut menambahkan alasan pengambilan tenor 50 tahun sejalan dengan preferensi dari investor global terhadap obligasi bertenor jangka panjang cukup kuat.

Selain itu, tenor jangka panjang juga menjadi strategi mengkombinasikan antara surat utang negara berdenominasi rupiah dan dollar Amerika Serikat.

“Dengan tenor yang baru, Indonesia menciptakan acuan atau benchmark baru bagi surat utang negara Indonesia,” jelas Sri Mulyani, dalam konferensi pers virtual tentang pembiayaan utang 2020 di Jakarta, Selasa, 7 April 2020.