rokok
Nasional

Buah Simalakama dari Fenomena Rokok Murah yang Marak Dikonsumsi Akibat Kenaikan Cukai

  • Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) ditetapkan sejak 1 Januari 2022 berdampak kepada pergeseran konsumsi rokok yang lebih murah seperti rokok replika ataupun tembakau linting yang tidak bercukai.
Nasional
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA – Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) ditetapkan sejak 1 Januari 2022 berdampak kepada pergeseran konsumsi rokok yang lebih murah seperti rokok replika ataupun tembakau linting yang tidak bercukai. 

Menanggapi fenomena maraknya konsumsi rokok murah, Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta serta Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Firman Turmantara Endipraja mengatakan bahwa fenomena itu menjadi buah simalakama atau menghasilkan situasi serba salah bagi masyarakat dan pemerintah. 

Menurut Firman, kenaikan CHT dan HJE tidak berpengaruh kepada upaya penurunan prevalensi perokok di Indonesia karena masyarakat bisa beralih ke produk rokok murah yang cukup banyak di pasaran saat ini. Bahkan, dengan semakin meluasnya penjualan rokok murah, dikhawatirkan nantinya jumlah perokok malah akan terus bertambah karena adanya opsi pembelian yang terkesan lebih menguntungkan. 

“Meskipun harga cukai dinaikkan, tapi tetap saja kebiasaan merokok sulit dihentikan karena masyarakat kita tidak bisa lepas dari kultur rokok,” ujar Firman melalui percakapan telepon, Rabu, 2 Maret 2022. 

Selain itu, Firman pun mengatakan bahwa kekhawatiran timbul juga dari belum bisa dipastikannya jaminan kesehatan dari rokok-rokok golongan dua yang tidak bercukai. Meski walau bagaimanapun juga rokok tetap produk yang tidak sehat untuk dikonsumsi, namun risiko kesehatan dari produk rokok murah untuk saat ini belum bisa diukur dengan pasti. 

Meskipun fenomena rokok murah di satu sisi dapat menghambat target penurunan prevalensi perokok di Indonesia, namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa fenomena ini juga menjadi suatu hal yang memiliki nilai positif bagi pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pasalnya, rokok-rokok golongan dua itu pada umumnya diproduksi secara rumahan dengan perdagangan berskala kecil dan menengah. 

“Di satu sisi, kita juga ingin meningkatkan kesejahteraan UMKM atau industri rumah tangga, tapi di sisi lain kita juga ingin mengurangi peminat rokok, terutama untuk generasi muda,” papar Firman.

Lebih lanjut, Firman mengatakan bahwa kenaikan harga cukai pada akhirnya nyaris tidak berpengaruh kepada prevalensi perokok di Indonesia karena adanya alternatif yang dihadirkan lewat produksi rokok murah yang diproduksi secara rumahan. 

“Dengan adanya kesenjangan harga yang tinggi, di satu sisi (kenaikan cukai) akan meningkatkan produksi rokok rumahan. Tapi, di sisi lain, dalam pencegahan penambahan perokok itu sendiri nyaris tidak ada artinya,” tegas Firman. 

Kondisi ini pun menjadi terkesan serba salah karena jika para produsen rokok rumahan itu dikenai larangan, ada masalah yang berkenaan dengan penutupan lapangan kerja bagi buruh-buruh rumahan dan pelaku UMKM. 

Oleh karena itu, Firman pun mengatakan bahwa fenomena rokok murah yang didorong oleh kenaikan cukai  harus disorot dari berbagai sisi, baik itu dari sisi industri, perdagangan, bea cukai, lapangan kerja, dan sebagainya. 

Firman juga menyarankan agar pemerintah mengambil langkah lain untuk mengurangi prevalensi perokok di Indonesia, misalnya dengan melarang penjualan rokok secara eceran. Dengan pelarangan itu, diharapkannya prevalensi perokok akan berkurang, khususnya untuk yang masih di bawah umur. 

Firman pun mengatakan bahwa BPKN sudah memberikan rekomendasi ke instansi dan kementerian terkait untuk melarang penjualan rokok secara eceran terutama di dekat-dekat sekolah atau lingkungan buruh-buruh berskala kecil.

“Jadi, jangan sampai kemudian hasil atau gaji yang minim itu untuk dibelikan rokok, bukan untuk beras,” pungkas Firman. 

Sebagai informasi, Peraturan kenaikan harga rokok yang berlaku sejak 1 Januari 2022 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris. 

Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, kenaikan cukai rata-rata rokok berada di kisaran 12%. Khusus untuk jenis Sigaret Kretek Tangan, kenaikan cukai maksimum 4,5%. Sri Mulyani pun mengatakan bahwa kenaikan cukai diharapkan dapat menurunkan jumlah perokok di Indonesia.

"Kebijakan tarif CHT dilakukan agar mendorong rokok makin tidak terjangkau masyarakat yang kita lindungi yakni anak-anak dan orang miskin," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers yang disiarkan secara virtual, Senin, 13 Desember 2021.