<p>Ilustrasi penyaluran kredit perbankan saat pandemi / Pixabay</p>
Industri

Bukan Capping NIM Perbankan, Ini Yang Diinginkan OJK

  • Ketimbang membatasi NIM, regulator lebih menginginkan adanya transparansi informasi suku bunga kredit perbankan tanah air.

Industri

Yosi Winosa

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membantah akan ada pembatasan Net Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia. Ketimbang membatasi NIM, regulator lebih menginginkan adanya transparansi informasi suku bunga kredit perbankan tanah air.

Kepala eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan OJK tidak berencana membatasi NIM perbankan, melainkan hanya akan meneliti faktor-faktor utama pembentuk NIM.

Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhi NIM, termasuk inefisiensi di perbankan RI, overhead pengelolaan kredit yang tinggi, dan environment ekonomi makro domestik dan global saat ini.

“Yang kita harapkan ke depannya, sesuai dengan UU PPSK, adalah transparansi informasi suku bunga kredit,” kata Dian kepada TrenAsia.com, Selasa, 14 Februari 2023.

Sebelumnya beredar isu regulator akan membatasi NIM perbankan Indonesia lantaran menjadi yang tertinggi di antara negara tetangga di kawasan Asia Tenggara dan sempat memicu komentar Presiden Joko Widodo yang menilai NIM perbankan Indonesia tinggi dibanding negara ASEAN lain yang rata-rata hanya berkisar 2% hingga 3%.

Catatan OJK, NIM perbankan tanah air mencapai 4,71% per kuartal-IV 2022, naik dari posisi tahun sebelumnya yang sebesar 4,51%.Sementara beberapa bank dalam laporan keuangan kuartal IV-2022 mereka melaporkan capaian NIM di atas rata-rata industri. Misalnya BBCA 5,3%, BBRI 6,8%, BMRI 5,47% dan BBNI 4,81%. 

Sebelumnya pada 2016, OJK sempat berencana membatasi (capping) NIM bank anggota Himpunan bank milik negara (Himbara) maksimal sebesar 4%. Saat itu, rata-rata NIM perbankan Indonesia mencapai 5,39% sementara bank Himbara mencapai 7% hingga 8%, dibanding rata-rata negara ASEAN sebesar 2,76%.

Tambahan informasi, NIM sendiri adalah rasio untuk mengukur tingkat profitabilitas bank dari penyaluran kredit. Dua faktor utama yang memengaruhi besaran NIM adalah tingkat suku bunga kredit disalurkan (loan yield) dan suku bunga yang diberikan bagi deposan (cost of fund). 

Kebijakan terkait NIM perlu memperhatikan indikator ekonomi lain, salah satunya inflasi. Jika NIM dipaksa turun, maka ada kemungkinan suku bunga kredit yang disalurkan oleh bank akan diatur ulang menjadi lebih rendah. Hal tersebut berpotensi menjadi stimulus dalam mendorong pertumbuhan kredit, yang akhirnya menjadi pendorong inflasi.