mansa musa.jpg
Dunia

Bukan Elon Musk Atau Bernard Arnault, Inilah Manusia Terkaya Sepanjang Peradaban

  • Deretan nama seperti Bernard Arnault, Jeff Bezos, dan Elon Musk didapuk sebagai miliarder dan pernah menjadi orang terkaya sejagat raya. Namun, kekayaan yang dimiliki ketiga miliarder tersebut tak cukup menjadikannya sebagai orang terkaya sepanjang masa.

Dunia

Rizky C. Septania

JAKARTA- Deretan nama seperti Bernard Arnault, Jeff Bezos, dan Elon Musk didapuk sebagai miliarder dan pernah menjadi orang terkaya sejagat raya. Namun, kekayaan yang dimiliki ketiga miliarder tersebut tak cukup menjadikannya sebagai orang terkaya sepanjang masa.

Mengutip laman Marca Selasa, 4 April 2023, orang yang didapuk sebagai manusia paling kaya sepanjang peradaban adalah Mansa Musa. Ia merupakan penguasa Afrika Barat pada abad ke-14 yang dikenal sebagai sosok yang dermawan.

Sayangnya, kedermawanan Mansa Musa justru menghancurkan perekonomian negeri yang dipimpinnya.

Guru besar sejarah Universitas California, Rudolph Butch Ware mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan era saat ini, kekayaan Mansa Musa bisa dikatakan fantastis.

"Jumlah kekayaan Musa jika dihitung di masa kini sungguh luar biasa sampai-sampai hampir mustahil untuk benar-benar memahami betapa kaya dan berkuasanya saat itu," ujar Rudolph.

Hal tersebut dibenarkan oleh penulis buku yang membahas mengenai Raja Afrika, Jacob Davidson. Ia mengatakan bahwa Mansa Musa lebih kaya dibanding apa yang orang bayangkan.

Pada 2012 lalu, situs Celebrity Net Worth memperkirakan kekayaan Musa mencapai US$400 miliar. Namun, sejarawan ekonomi mengatakan bahwa kekayaan tersebut tak bisa dihitung dalam angka.

Sekilas mengenai Mansa Musa, Ia merupakan penguasa yang lahir pada 1280 M. Ia memerintah kerajaan Mali pada 1312 M.

Mansa mendapatkan tahtanya ketika saudara laki-lakinya, Mansa Abu Bakr turun tahta untuk pergi dalam sebuah ekspedisi. Menurut catatan sejarah, Abu Bakr terobsesi dengan Samudera Atlantik dan segala sesuatu yang ada di baliknya.

Ia dikabarkan berangkat dalam sebuah ekspedisi dengan armada sebanyak 2.000 kapal serta ribuan pria, perempuan, dan budak. Mereka pergi berlayar, namun tak pernah kembali.

Beberapa sejarawan, seperti mendiang sejarawan Amerika Ivan Van Sertima, berasumsi bahwa rombongan Abu-Bakr berhasil mencapai Amerika Selatan. Namun tak ada bukti yang mendukung asumsi tersebut.

Mansa Musa yang menggantikan saudaranya sebagai penguasa kemudian memerintah kerajaan Mali. Di bawah kepemimpinannya, Mali berkembang sangat pesat. Ia berhasil menguasai 24 kota baru, termasuk Timbuktu.

Di bawak kepemimpinan Mansa Musa, Kerajaan Mali membentang sepanjang 3.128 kilometer, dari Samudera Atlantik hingga daerah yang kini merupakan Nigeria.

Wilayah kekuasaan Mansa Musa kawasan-kawasan yang kini menjadi Senegal, Mauritania, Mali, Burkina Faso, Nigeria, Gambia, Guinea-Bissau, Republik Guinea, dan Pantai Gading. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, sumber daya alam yang dimiliki Kerajaan Mali pun sangat besar, termasuk emas dan garam.

Pada masa kekuasaan Mansa Musa, Kerajaan Mali memiliki hampir separuh jumlah emas yang beredar di kawasan Dunia Lama, yaki Afrika, Asia dan Eropa. Semua emas tersebut adalah milik sang raja.

"Sebagai penguasa, Mansa Musa punya akses yang hampir tidak terbatas terhadap sumber-sumber kekayaan paling bernilai pada abad pertengahan. Pusat-pusat perdagangan besar yang menggunakan emas dan komoditas lain sebagai alat tukar juga berada di daerah kekuasaannya, dan ia memperoleh kekayaannya dari aktivitas perdagangan tersebut," ujar Kathleen Bickford Berzock, Spesialis Seni Afrika di Block Museum of Art di Universitas Northwestern.

Meski kala itu Mali menjadi sumber emas, kerajaan itu rupanya tak banyak dikenal. Meski begitu, semuanya berubah ketika Mansa Musa yang merupakan seorang muslim memutuskan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Sang raja dikabarkan berangkat dari Mali bersama dengan rombongan berisi 60.000 orang.

Ia membawa serta seluruh pejabat dan hakim-hakim kerajaan, pasukan tentara, penghibur, pedagang, penunggang unta dan 12.000 budaknya, juga serobongan kambing dan sapi untuk persediaan makanan.

Saking banyaknya, rombongan haji Mansa Musa tampak seperti sebuah kota yang bergerak melalui gurun.

Uniknya lagi para rombongan termasuk para budak mengenakan pakaian dengan brokat emas dan sutra Persia terbaik. Ada pula ratusan unta yang membawa masing-masing ratusan kilogram emas murni.

Saat mereka tiba di Kairo, rombongan Mansa Musa berada di tempat dimana mereka dapat benar-benar menunjukkan kekayaan mereka.

Saat berada di Kairo, Mansa Musa memberikan emas yang dibawanya di Kairo secara cuma-cuma. Hingga persinggahannya selama tiga bulan di kota tersebut menyebabkan anjloknya harga emas di kawasan tersebut selama 10 tahun dan menghancurkan perekonomian di sana.

Dalam perjalanan pulangnya, Mansa Musa melintasi Mesir kembali, dan menurut beberapa orang, ia mencoba untuk membantu mengembalikan perekonomian Mesir dengan menarik sebagain emas dari peredaran dengan cara meminjamnya menggunakan suku bunga yang amat tinggi dari para pemberi pinjaman Mesir.

Mansa Musa kembali dari Mekah bersama sejumlah cendekiawan Islam. Ia turut membawa keturunan langsung Nabi Muhammad dan penulis puisi sekaligus arsitek Andalusia bernama Abu Es Haq es Saheli. Ia juga dikenal sebagai perancang Masjid Djinguereber yang terkenal. Raja dikabarkan membayarnya dengan 200 kilogram emas.

Selain mendorong dunia seni dan arsitektur, ia juga mendanai dunia sastra dan membangun banyak sekolah, perpustakaan, dan masjid.

Tak lama, Timbuktu berubah menjadi pusat pendidikan dan banyak orang berdatangan dari berbagai belahan dunia untuk belajar di tempat yang kini dikenal sebagai Universitas Sankore.

Raja Yang Dermawan

Kedermawanan Mansa Musa membagikan emas semasa pergi haji menarik perhatian dunia. Dengan sikapnya, Mansa Musa membuat kerajaannya, Mali, dan dirinya sendiri diakui dunia.

Pada peta Catalan Atlas yang berasal dari tahun 1375, sebuah lukisan bergambar seorang raja Afrika yang duduk di atas singgasana emas di puncak Timbuktu, sambil memegang sepotong emas di tangannya.

Timbuktu menjadi El Dorado-nya Afrika dan orang-orang datang dari negeri yang dekat dan jauh untuk melihatnya.

Pada abad ke-19, negeri tersebut masih menyimpan sebuah mitos sebagai kota emas yang hilang di ujung dunia. Mitos ini menjadi incaran para pemburu dan penjelajah Eropa di mana hal ini sebagian besar berkat apa yang dilakukan Mansa Musa 500 tahun sebelumnya.

Raja yang kaya itu juga sering kali dianggap berjasa karena telah memulai tradisi pendidikan di Afrika Barat, meskipun kisah tentang kerajaannya hanya sedikit diketahui orang di luar Afrika Barat.

Mansa Musa meninggal dunia tahun 1337 di usia 57. Sepeninggalnya, kerajaannya diwariskan kepada putra-putranya yang tak mampu menjaga keutuhan kerajaan. Sejumlah daerah memisahkan diri dan akhirnya kerajaan itu pun runtuh.

Kedatangan bangsa Eropa di kemudian hari ke Afrika menjadi titik akhir kehancuran kerajaan Mali.

"Sejarah periode abad pertengahan masih dilihat sebagian besar orang sebagai sejarah dunia Barat," ujar Lisa Corrin Graziose, direktur Block Museum of Art.