<p>Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan perkembangan APBN April 2020 dalam konferensi pers APBN KiTa secara virtual di Jakarta, Jumat 17 April 2020/ Sumber: Dokumentasi Trenasia</p>
Industri

Bukan Insentif Fiskal, Ini yang Ditekankan Sri Mulyani Soal Investasi di Indonesia

  • Ini yang ditekankan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai ekosistem investasi di Indonesia, dimana tidak lagi semata-mata bertumpu pada insentif fiskal.

Industri

Daniel Deha

JAKARTA -- Pemerintah terus berupaya menggerakkan roda investasi untuk mengungkit pemulihan ekonomi yang terpukul akibat pandemi COVID-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa saat ini pemerintah tidak lagi semata-mata bertumpu pada insentif fiskal untuk menstimulasi minat investor. 

Menurut dia, sudah saatnya model investasi diperbaiki agar memberikan dorongan yang lebih kuat terhadap ekosistem berusaha yang lebih fundamental dan berkelanjutan.

“Saya ingin tekankan bahwa menggenjot investasi di industri hulu migas tentu membutuhkan dukungan atau insentif fiskal. Tapi ini bukan satu-satunya faktor," katanya dalam acara The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 dikutip, Selasa, 30 November 2021.

Menurut dia, ada beberapa strategi penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai kepastian kontrak, efisiensi, penggunaan teknologi dan transparansi pemerintah dalam mengelola investasi.

Berbicara mengenai investasi di sektor sumber daya alam, Sri Mulyani menggarisbawahi agar kekayaan alam harus dikelola dan dibangun dalam kerangka kebijakan yang kredibel dan kuat.

"Kita (harus) dapat membentuk kerangka kebijakan yang sehat, akuntabel, serta bertanggung jawab tidak hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi berikutnya," tegas Bendahara Negara.

Dia menambahkan, pemerintah terus berupaya mendorong peningkatan investasi dan produksi minyak dan gas dalam rangka menjaga ketahanan energi. Salah satunya yang dilakukan saat ini adalah insentif fiskal.

Namun demikian, pemerintah juga harus memastikan bahwa sistem kontrak bagi hasil benar-benar akuntabel agar memberikan manfaat dan nilai tambah bagi negara.

Ada beberapa kebijakan yang ada yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 sebagaimana diubah menjadi PP 27/2017 terkait kontrak bagi hasil cost recovery (biaya operasi) dan PP 53/2017 terkait kontrak bagi hasil gross split.

Gross Split adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi antara pemerintah dan kontraktor migas yang di perhitungkan di muka.

Menurut Sri Mulyani, kedua kebijakan ini memberikan pilihan bagi investor dalam mengembangkan investasi di Indonesia sesuai dengan risikonya.

Investasi Hijau

Ke depannya, Sri Mulyani menandaskan bahwa investasi hijau juga menjadi perhatian pemerintah. Hal itu guna mendukung komitmen perubahan iklim sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC).

Salah satunya adalah komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbondioksida (Co2) sebanyak 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional untuk mencapai emisi nol persen pada 2060.

Dia menyebut, ada tiga kerangka kebijakan yang memayungi investasi hijau, yaitu 
upaya meningkatkan dan memanfaatkan lebih banyak energi terbarukan (EBT).

Kemudian, upaya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Dan terakhir, memanfaatkan teknologi untuk mengurangi emisi karbon misalnya dengan menerapkan carbon capture and storage.

"Pencapaian ini menjadi isu yang relevan dalam konteks industri migas ini," katanya.

Dia menambahkan, pemerintah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengimplementasikan ketentuan investasi hijau di sektor migas dengan menerapkan pajak karbon mulai tahun depan. Besaran pajak karbon adalah Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen (kCO2e) atau Rp30.000 per ton CO2e.