<p>Lava pijar Gunung Anak Krakatau terlihat dari perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis, 19 Juli 2018. Sejak pukul Rabu sore hingga Kamis pagi (18-19 Juli), jumlah letusan tercatat mencapai 117 kali, yang disertai asap kawah dan lontaran batu. ANTARA FOTO/Elshinta</p>
Nasional & Dunia

Bukan Letusan Gunung Anak Krakatau, Penjelasan Ilmiah Suara Dentuman Dari Petir

  • Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan dentuman yang terdengar oleh sebagian masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) bukan berasal dari erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK).

Nasional & Dunia
Sukirno

Sukirno

Author

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan dentuman yang terdengar oleh sebagian masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) bukan berasal dari erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK).

“Bukan (dari GAK), melainkan dari sumber lain. Nah, sumber lainnya kami tidak bisa menentukan,” kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat PVMBG Nia Khaerani melalui sambungan telepon dilansir Antara di Jakarta, Sabtu, 11 April 2020.

Ia mengatakan berdasarkan laporan dari pos pemantauan terdekat di sekitar GAK, petugas tidak menemukan bahwa dentuman itu berasal dari GAK karena intensitas erupsinya relatif kecil, sehingga tidak mungkin menghasilkan suara dentuman yang terdengar sampai 125 kilometer ke wilayah Jabodetabek.

“Apalagi di pos pengamatan Gunung Anak Krakatau sendiri yang jaraknya 42 km. Itu tidak terdengar,” katanya.

Jagat media sosial Twitter heboh dengan suara dentuman yang terdengar hingga di Jakarta pada Sabtu, 11 April 2020, dini hari. Diduga, dentuman yang terus terjadi itu adalah suara erupsi Anak Gunung Krakatau.

Warganet melaporkan dari berbagai wilayah telah mendengar suara dentuman sejak Sabtu dini hari. Suara dentuman yang terus terjadi itu terdengar di Jakarta, Depok, Bogor, hingga Bekasi. Padahal, Gunung Anak Krakatau terletak di Selat Sunda.

Suara Petir

Meski demikian, petugas di sekitar pos pemantauan Gunung Gede, Bogor, dan Gunung Salak di Sukabumi, menurut laporan memang mendengar juga adanya suara keras.

Tetapi mereka menduga suara itu berasal dari petir saat hujan petir yang terjadi menyusul erupsi di GAK. Demikian juga petugas di sekitar GAK.

“Jadi bukan hanya di Gunung Gede dan Gunung Salak yang mendengar petir, di sekitar Gunung Anak Krakatau pada saat bersamaan dengan erupsi itu memang terdapat juga hujan petir, karena saat ini sedang musim hujan disertai petir,” katanya.

Terkait dengan suara dentuman, PVMBG sendiri memasang alat bernama infrasound untuk merekam kemungkinan adanya sinyal akustik dari erupsi gunung api.

Namun, infrasound hanya merekam gelombang suara yang tidak bisa didengar oleh telinga manusia, berbeda dengan dentuman yang terdengar oleh sebagian masyarakat di wilayah Jabodetabek.

“Jadi walaupun dengan alat itu dia terekam, tapi kan frekuensinya berbeda dengan dentuman yang langsung bisa terdengar oleh telinga manusia,” katanya.

Oleh karena itu, Nia memastikan suara dentuman menyusul erupsi Gunung Anak Krakatau bukanlah berasal dari gunung tersebut, melainkan dari sumber lain yang belum diketahui secara pasti.

Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar dalam tulisannya di akun Instagram resmi PVMBG KESDM juga sependapat dengan hal itu.

Ia menyimpulkan bahwa ancaman primer yang langsung dari erupsi GAK bersifat lokal karena lontaran batu atau lava hanya terlokalisir di tubuh gunung api.

“Sangat kecil kemungkinan, bahkan diabaikan ancaman bahaya seperti ini sampai ke Pulau Jawa atau Sumatera,” katanya.

Suara dentuman, kata dia, tidak merefleksikan eksplosivitas erupsi, tidak juga dapat dijadikan indkator akan terjadinya erupsi besar.

Ancaman bahaya sekunder berupa abu vulkanik jangkauannya dapat lebih jauh tergantung arah dan kecepatan angin.

“Untuk hal itu PVMBG sudah menerbitkan VONA (Volcano Observatory Notice for Aviation) dengan kode warna orange,” katanya.

VONA tersebut sudah terintegrasi dengan sistem penerbangan sehingga tindak lanjut dari stakeholder dari penerbangan dapat dilakukan.

Untuk itu, PVMBG mengimbau masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera untuk tidak khawatir terhadap kemungkinan dampak erupsi GAK.

Tak Potensi Tsunami

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan erupsi Gunung Anak Krakatau di Lampung yang terjadi sejak Jumat malam, 10 April 2020, pukul 21.00 WIB hingga 11 April 2020 pukul 06.00 WIB tidak memicu terjadinya tsunami.

“Hasil monitoring muka laut menggunakan tide gauge di Pantai Kota Agung, Pelabuhan Panjang, Binuangen dan Marina Jambu menunjukkan tidak ada anomali perubahan muka laut,” kata Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono dalam pernyataan resmi secara terpisah.

Berdasarkan hasil monitoring muka laut menggunakan Radar Wera yang berlokasi di Kahai, Lampung dan Tanjung Lesung, Provinsi Banten, katanya, tidak menunjukkan adanya anomali muka laut pada waktu yang sama.

Oleh karena itu, berdasarkan monitoring muka laut yang dilakukan menggunakan tide gauge dan Radar Wera, BMKG menyimpulkan bahwa erupsi Gunung Anak Krakatau pada Jumat malam tidak memicu terjadinya tsunami.

Hasil monitoring kegempaan BMKG tepat pada saat terjadinya erupsi pukul 21.58 WIB dan pukul 22.35 WIB menunjukkan bahwa sensor BMKG tidak mencatat adanya aktivitas seismik.

Oleh karena itu, erupsi Gunung Anak Krakatau berdasarkan catatan sensor BMKG lebih lemah dibandingkan erupsi yang terjadi pada 22 Desember 2018 lalu.

Namun demikian, BMKG mencatat ada gempa di Selat Sunda berdasarkan hasil monitoring seismik pada pukul 22.59 WIB hingga 23.00 WIB, baik eksisting maupun sensor baru yang dipasang pada 2019.

Sensor seismik BMKG tersebut adalah CGJI di Cigeulis, Banten, WLJI di Wonosalam, Banten, PSSM di Pematang Sawah, Lampung, LLSM di Limau, Lampung, KASI di Kota Agung, Lampung, CSJI di Ciracap, Jawa Barat, dan KLSI di Kotabumi, Lampung.

Hasil analisis BMKG terkait gempa tersebut menujukkan terjadinya gempa tektonik di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo 2,4 dengan episenter terletak pada koordinat 6,66 lintang selatan (LS) dan 105,14 bujur timur (BT), tepatnya di laut pada jarak 70 kilometer (km) arah selatan baratdaya Gunung Anak Krakatau di kedalaman 13 km.

Terkait suara dentuman yang beberapa kali terdengar dan meresahkan masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), maka hasil monitoring BMKG sejak Jumat malam hingga Sabtu pagi pukul 06.00 WIB menunjukkan tidak ada aktivitas gempa tektonik yang kekuatannya signifikan di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

Meski demikian, ada aktivitas gempa kecil di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo M 2,4, tetapi gempa tersebut kekuatannya tidak signifikan dan tidak dirasakan oleh masyarakat.

Berdasarkan data tersebut, kata Rahmad, maka BMKG memastikan bahwa suara dentuman tersebut tidak bersumber dari aktivitas gempa tektonik. (SKO)