Ilustrasi polusi Jakarta
Nasional

Bukan PLTU, Kendaraan Pribadi Jadi Penyebab Polusi Udara Parah Jakarta

  • Hal tersebut sekaligus menjelaskan PLTU Batu Bara bukan menjadi penyebab polusi udara di Jakarta.

Nasional

Bintang Surya Laksana

JAKARTA - Masalah polusi udara yang ramai di Jakarta menyebabkan berbagai menjadi perdebatan tentang apa sebenarnya yang menyebabkan buruknya kualitas udara. Beberapa waktu lalu, sejumlah pihak menyalahkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang memang berlokasi di dekat wilayah Jakarta.

Namun setelah PLTU terbesar yang dikelola PLN yang berlokasi di dekat Jakarta, yakni Suralaya mematikan sejumlah unitnya, pada 29 Agustus 2023 kualitas udara di Jakarta tetap tidak membaik. Padahal, PLTU batu bara Suralaya 1, 2, 3 dan 4 berlokasi di Cilegon, Provinsi Banten tersebut memiliki kapasitas yang besar yakni masing-masing kapasitas 400 Mega Watt (MW). Sehingga total keseluruhan pembangkit menjadi 1.600 MW. Hal tersebut sekaligus menjelaskan PLTU Batu Bara bukan menjadi penyebab polusi udara di Jakarta. 

Ternyata, penggunaan kendaraan menjadi penyebab utama polusi udara di Jakarta. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyebutkan penerapan kebijakan pemerintah untuk bekerja dari rumah (Work From Home/WFH) bagi sebagian Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi mulai menampakkan hasilnya dalam memperbaiki kualitas udara di Jakarta, seperti dilansir Antara.

Direktur Eksekutif KPBB, Safrudin Ahmad pada 7 September 2023 lalu menyebutkan, kebijakan WFH memberikan pengaruh secara signifikan dalam mengurangi emisi karbon dari kendaraan pribadi. Hal tersebut karena kebijakan WFH menyebabkan pengurangan penggunaan transportasi pribadi.

“Kebijakan WFH mampu mengurangi mobilitas warga dan menurunkan penggunaan transportasi pribadi dari kota penyangga seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang ke Jakarta,” jelas Safrudin.

Oleh karena itu, Safrudin menyebutkan terdapat pilihan yang dapat mengatasi masalah tersebut yakni dengan menggunakan kendaraan hybrid atau kendaraan listrik. Oleh karena itu, pemerintah harus mendorong penggunaan kendaraan hybrid maupun kendaraan listrik berbasis baterai.

Walaupun sebenarnya kendaraan listrik masih menghasilkan jejak karbon atau emisi jika melakukan isi ulang dengan listrik yang mayoritas berasal dari pembangkit bertenaga batu bara, namun Safrudin menyebutkan hitung-hitungan emisi per kilometernya tetap lebih rendah dibanding kendaraan konvensional.

“Emisinya tetap bisa lebih rendah sekitar 28 persen per km ketimbang kendaraan konvensional,” ujar Safrudin.