<p>Nampak seorang pelanggan tengah melakukan transaksi melalui aplikasi Tokopedia dengan promo pengantaran dari aplikasi Gosend, PT Gojek Indonesia dan PT Tokopedia dikabarkan tengah mencari kesepakatan untuk melakukan merger. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Fintech

Bukan TikTok Shop, Ini Biang Kerok Banjir Barang Impor Berharga Murah

  • Jauh sebelum TikTok Shop beroperasi, produk impor dengan harga murah sudah bertebaran di berbagai lapak.
Fintech
Laila Ramdhini

Laila Ramdhini

Author

JAKARTA - Platform e-commerce maupun social commerce seperti TikTok Shop acap kali dituding sebagai biang keladi banjir impor barang murah. Padahal, jauh sebelum TikTok Shop beroperasi, produk impor dengan harga murah sudah bertebaran di berbagai lapak, baik lapak tradisional maupun online.

Pada 2018, tiga tahun sebelum TikTok Shop masuk ke Indonesia, Kementerian Perindustrian mencatat, 90% produk yang dijual di e-commerce merupakan barang impor. Sementara produk dalam negeri hanya mencapai 10%.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, barang impor berharga murah tak cuma diperdagangkan di lapak online. 

Di pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan modern, konsumen juga bisa dengan mudah menemukan berbagai barang impor yang dijual dengan harga lebih murah dibandingkan produk dalam negeri.

"Banjir produk impor berharga murah bukan disebabkan oleh platform perdagangan elektronik tertentu seperti TikTok Shop, namun karena ada masalah dalam penegakan aturan dan pengawasan rantai pasok barang impor," ujar Tauhid.

Kabar baiknya, pemerintah memang telah mengeluarkan kebijakan untuk memperketat masuknya barang impor berharga murah. Tahun lalu, misalnya, Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 untuk memperketat perdagangan lintas batas  alias cross-border commerce.

Cross-border commerce disinyalir menjadi salah satu pintu masuk barang impor berharga murah. Shopee dan Lazada, misalnya, termasuk dalam platform e-commerce yang menyelenggarakan cross-border commerce. Sementara Tokopedia, Blibli, Bukalapak, dan TikTok dilansir dari berbagai sumber, tidak melayani cross-border commerce.

Praktik cross-border commerce memungkinkan barang impor dijual langsung oleh penjual di luar negeri kepada konsumen di dalam negeri. Praktik ini tentu saja merugikan pengusaha UMKM di dalam negeri. Itu sebabnya, melalui Permendag Nomor 31, pemerintah telah melarang impor lewat skema cross-border untuk barang dengan harga di bawah US$100 untuk melindungi produk dalam negeri.

Walau sudah mempunyai landasan hukum yang baik, Taufid merekomendasikan agar pengawasan dapat diperketat terhadap produk impor. Implementasi hambatan non-tarif seperti pemberlakuan standar produk, misalnya, perlu diawasi secara ketat dengan melakukan inspeksi. 

Pemerintah juga perlu melakukan penyelidikan terhadap jalur-jalur yang digunakan untuk importasi barang, apakah melalui sarana logistik tertentu atau lewat jalur ilegal. Pengawasan ini perlu melibatkan aparat penegak hukum.

Tauhid mengingatkan, selain merilis regulasi, kelembagaan dan pengawasan terhadap impor barang harus benar-benar kuat. Begitu juga dengan operasi pasar dan penindakan hukum.

Tanpa pengawasan ketat, Tahid menambahkan, banjir barang impor berharga murah akan merugikan banyak pihak, termasuk pemerintah sendiri. Sebab, pemerintah bisa jadi kehilangan potensi pajak. 

Pelaku usaha di dalam negeri, khususnya pengusaha UMKM, tentu saja akan dirugikan. Begitu pula dengan konsumen. Meski mendapatkan harga murah, kualitas maupun garansi barang yang konsumen peroleh bisa jadi tidak memenuhi standardisasi.