Bulan Depan Resesi? Jangan Takut, Begini Cara Bertahannya
JAKARTA – Kurang dari sebulan penghabisan kuartal III-2020, Indonesia makin waswas resesi atau tidak. Bagaimana tidak, meskipun sinyal pemulihan mulai terlihat, tapi Indonesia kadung kontraksi 5,32% pada kuartal sebelumnya. Alhasil, para ekonom menilai situasinya agak sulit bagi Indonesia untuk loncat ke level positif. Pasalnya, sinyal pemulihan tidak sedrastis dengan penunan, sehingga, yang bisa dilakukan saat […]
Industri
JAKARTA – Kurang dari sebulan penghabisan kuartal III-2020, Indonesia makin waswas resesi atau tidak. Bagaimana tidak, meskipun sinyal pemulihan mulai terlihat, tapi Indonesia kadung kontraksi 5,32% pada kuartal sebelumnya.
Alhasil, para ekonom menilai situasinya agak sulit bagi Indonesia untuk loncat ke level positif. Pasalnya, sinyal pemulihan tidak sedrastis dengan penunan, sehingga, yang bisa dilakukan saat ini adalah meredam anjloknya resesi ke level yang lebih dalam.
“Kondisi ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tapi negara lain juga mengalami ekonomi negatif. Sehingga resesi tidak bisa terhindarkan, masyarakat harus siap-siap,” kata Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti pada TrenAsia.com, Rabu, 2 September 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Jika resesi menjadi kenyataan, dampak langsung yang akan dialami masyarakat antara lain melambungnya harga komoditas, tingginya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), banyaknya angka gagal bayar kredit, dan membengkaknya angka kemiskinan.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan deflasi seperti yang sudah terjadi dua kali tahun ini yaitu pada Juli dan Agustus. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar 0,05%, lebih rendah ketimbang Juli di level 0,10%, deflasi tersebut disebabkan oleh turunnya permintaan dan penawaran sekaligus.
Menurut Esther, lemahnya konsumsi masyarakat menjadi faktor utama kontraksi ekonomi di Indonesia. Sebab, menurut BPS, konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap 56% dari total PDB.
Esther menjelaskan masyarakat berpenghasilan rendah saat ini tidak punya pilihan untuk membelanjakan uangnya. Sementara masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi cenderung wait and see alias ngirit karena ketidakpastian kapan berakhirnya krisis.
“Oleh karena itu, cara mengatasinya bantu dari sisi permintaan dulu, lalu beri kebijakan untuk support di sisi supply.”
Meski ancaman resesi terasa sulit dihindari, Piter menegaskan bahwa resesi bukan suatu kondisi yang harus ditakuti. Menurutnya, yang terpenting adalah masyarakat mampu memanajemen keuangan domestik agar dapat bertahan selama krisis berlangsung.
“Selama masih ada wabah, seluruh kebijakan tidak akan efektif untuk mendongkrak ekonomi. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, akan tetapi semua negara pun merasakan yang sama. Jadi, resesi tidak bisa dihindari,” kata Piter kepada TrenAsia.com.
Cara Survive
Tidak hanya mengandalkan bantuan pemerintah, masyarakat juga perlu bersiap menghadapi resesi. Langkah paling bijak melewati krisis ekonomi saat ini adalah dengan mengatur keuangan pribadi atau rumah tangga secara cermat.
Caranya, masyarakat bisa mengatur ulang porsi belanja menjadi lebih selektif. Misalnya, mengutamakan belanja kebutuhan pokok, kesehatan, operasional, dan dana darurat.
Pos dana darurat juga dapat diperbesar anggarannya, dari alokasi ideal sekitar 5%-10% menjadi 40% dari total pemasukan. Skema realokasi juga menjadi salah satu instrumen yang dapat diterapkan.
Jangan salah, situasi seperti ini justru merupakan momentum tepat berinvestasi. Salah satu sektor yang masih cukup menjanjikan untuk dijadikan investasi saat resesi menimpa adalah sektor konsumsi.
Saham-saham yang berasal dari perusahaan consumer goods yang tidak berorientasi pada ekspor cenderung lebih stabil meski di tengah resesi.
Selain itu, logam mulia seperti emas juga tidak kalah berkilau. Buktinya, tren harga emas global terus memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan investor yang berhasil untung di tengah krisis ekonomi 1998 silam.