BUMN Waskita Karya Getol Jual Jalan Tol, Untung atau Malah Buntung?
- Emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) semakin getol menjalankan program divestasi alias penjualan ruas jalan tol.
Korporasi
JAKARTA - Emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) semakin getol menjalankan program divestasi alias penjualan ruas jalan tol.
Setelah empat ruas tol selesai didivestasi dengan nilai mencapai Rp6,8 triliun, WSKT akan melanjutkan penjualan tol lainnya hingga 2024.
Diketahui, WSKT menyiapkan 13 ruas tol yang masuk dalam daftar divestasi. Artinya, masih ada sembilan ruas tol lagi yang belum dilego. Untuk sisa tahun ini, perseroan menyiapkan ruas tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi- Parapat, Bogor-Ciawi-Sukabumi, Depok-Antasari, Pemalang-Batang, dan Krian-Legundi-Bunder-Manyar.
Presiden Direktur Waskita Karya Destiawan Soewardjono pun mengaku, divestasi ini menjadi salah satu upaya yang masuk dalam delapan strategi penyehatan keuangan perseroan.
"Perseroan tengah menanggung kondisi cash flow yang berat lantaran besarnya beban utang. Maka, untuk mengembalikan kinerja, salah satu strategi yang dilakukan melalui divestasi ruas jalan tol," ujarnya dalam Public Expose, beberapa waktu lalu.
- Waskita Karya Bakal Terbitkan Obligasi dan Sukuk Senilai Rp3,8 Triliun Buat Bayar Utang
- Harga CPO Masih Tinggi, Analis Jagokan Saham Duo Triputra DSNG dan TAPG
- Kilas Balik Kasus Jouska hingga CEO Jadi Tersangka
Kendati demikian, apakah divestasi ruas jalan tol ini bisa berhasil secara penuh dalam menyehatkan keuangan perseroan?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, aksi ini kurang menguntungkan bagi BUMN Karya tersebut. Permasalahannya, nilai divestasi jalan tol ini belum tentu seimbang jika dibandingkan dengan biaya konstruksi jalan tol.
“Di sini yang menjadi teka-teki adalah kurangnya transparansi soal total biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalan tol,” ujarnya kepada TrenAsia.com, Rabu, 13 Oktober 2021.
Bagi investor, lanjutnya, divestasi jalan tol menjadi kurang menarik karena harganya relatif mahal. Menurutnya, ini tidak sebanding dengan pendapatan operasional yang dihasilkan.
Seperti diketahui, pendapatan perseroan per semester I-2021 tercatat turun hampir separuhnya, yakni 41,2% year-on-year (yoy). Jumlah pendapatan yang diraup sebesar Rp4,7 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan Rp8 triliun per semester I-2020.
Selain itu, kata Bhima, utilitas atau pemanfaatan jalan tol juga belum maksimal. “Sebelum pandemi saja sudah banyak angkutan logistik yang masih lewat jalan arteri dibandingkan dengan lewat tol. Mereka mengeluh karena tarifnya mahal,” tambahnya.
Perhitungan sederhananya, jelas Bhima, investor mau membayar jalan tol jika ada internal rate of return (IRR) yang menarik. Jadi, aksi divestasi ini dinilai kurang menguntungkan bagi BUMN sendiri karena pada ujungnya harga yang ditawarkan adalah harga diskon guna menarik calon investor.