Penandatanganan kesepakatan penyesuaian FIR oleh Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi dengan Menteri Transportasi Singapura S. Iswaran, yang disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong, di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Selasa, 25 Januari 2022.
Nasional

Buronan BLBI Mulai Ketar-Ketir, Inilah Isi Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura

  • Pemerintah Indonesia dan Singapura berhasil menyempurnakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura dalam rangka melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana.
Nasional
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA -- Pemerintah Indonesia dan Singapura berhasil menyempurnakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura dalam rangka melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana di bidang keuangan, terorisme dan kejahatan perbankan.

Perjanjian ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam serta disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada Selasa, 25 Januari 2022.

Sebelum resmi ditandatangani, Perjanjian Ekstradisi ini telah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.

Terakhir, kedua negara membahas perjanjian ini pada acara Leaders' Retreat 2019. Saat itu, Yasonna mengusulkan agar Perjanjian Ekstradisi yang sejak awal diparalelkan dengan Perjanjian Kerja Sama Keamanan juga dibahas kembali kedua negara.

Pemberlakuan perjanjian ini diharapkan menjangkau secara efektif pelaku kejahatan di masa lampau dan memfasilitasi implementasi Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Yasonna mengatakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura ini memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UUHP) Indonesia.

Selain masa rektroaktif, perjanjian ini juga menyepakati penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.

"Ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya," ujar Yasonna usai penandatanganan di Bintan, Kepulauan Riau, dikutip Kamis, 27 Januari.

Dia menjelaskan ada 31 jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ini di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

"Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana yang meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian ini namun telah diatur dalam sistem hukum kedua negara," papar Yasonna.

Dia menambahkan ruang lingkup perjanjian ini adalah kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

“Perjanjian Ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura," katanya.

Selain itu, ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri. Sejauh ini, Indonesia juga telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, China dan Hong Kong dalam rangka menangkap pelaku tindak pidana.