Carbon Capture and Storage: Definisi, Manfaat dan Kendalanya
- Meski teknologi CCS menjanjikan untuk mengatasi sumber emisi CO2 dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau industri besar, masih banyak aspek yang harus diatasi sebelum CCS dapat terwujud sepenuhnya.
Energi
JAKARTA - Debat pertama cawapres baru-baru ini telah selesai, dengan salah satu perbincangan menarik mengenai Carbon Capture and Storage (CCS). Topik tersebut menjadi sorotan dalam debat calon wakil presiden (Cawapres) pada Jumat, 22 Desember 2023, dan berhasil membuat warganet penasaran.
Perbincangan ini terjadi antara Gibran Rakabuming Raka (cawapres nomor urut 2) dan Mahfud Md, yang (cawapres nomor 3). Saat diberikan kesempatan oleh panelis, Gibran mengajukan pertanyaan kepada Mahfud—pasangan dari Ganjar Pranowo, tentang regulasi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage).
“Ini karena Prof Mahfud adalah ahli hukum saya ingin bertanya bagaimana regulasi untuk carbon capture and storage?” ujar Gibran saat berada dalam Debat Cawapres di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan pada Jumat lalu.
- 5 Debut Grup K-Pop Paling Ditunggu Sepanjang 2023
- Benign Neglect: Parenting Mengabaikan Anak dengan Sehat yang Dipraktikkan Jennifer Garner
- Saham Tencent dan Netease Anjlok Akibat Rencana Pembatasan Game di China
Lantas apa itu Carbon Capture and Storage? Yuk, simak penjelasan berikut!
Dikutip dari situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada Rabu, 27 Desember 2023, Carbon Capture and Storage (CCS) adalah teknologi untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfer sebagai upaya mitigasi pemanasan global.
Proses ini melibatkan serangkaian langkah terkait, dimulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 yang tertangkap ke lokasi penyimpanan (transportation), dan penyimpanan di tempat yang aman (storage).
Pemisahan dan penangkapan CO2 menggunakan teknologi absorpsi, yang umum digunakan dalam produksi hidrogen, baik itu dalam skala laboratorium maupun komersial. Pengangkutan CO2 dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker, seperti cara pengangkutan gas lainya (LPG dan LNG).
Sementara itu, penyimpanan dilakukan di lapisan batuan di bawah permukaan bumi, yang berfungsi sebagai perangkap gas untuk mencegahnya lepas ke atmosfer. Alternatif lainnya adalah injeksi ke dalam laut pada kedalaman tertentu.
Menurut International Energy Agency (IEA), sekitar 56% dari total emisi global berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Sekitar 7500 instalasi besar yang menghasilkan emisi CO2 (large stationary point sources) dan melepaskan lebih dari 1.000.000 ton CO2 setiap tahunnya.
Analisis dari IEA menyimpulkan dari jumlah tersebut, pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU) menjadi sumber emisi utama dengan persentase lebih dari 60%.
Sementara itu, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) menyumbang sekitar 11%, dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sekitar 7%. Sedangkan kontribusi industri lainnya berkisar antara 3 hingga 7%. Oleh karena itu, untuk mengurangi emisi CO2 secara signifikan, membutuhkan pengendalian gas buang dari pembangkit listrik.
- AP I Catat 1,5 Juta Pergerakan Penumpang saat Nataru, Naik 18 Persen
- INDEF: RPP Kesehatan Bakal Matikan Industri Tembakau
- BMKG Ungkap Wilayah yang Potensi Hujan Lebat hingga Tahun Baru
Tapi, upaya ini tidak mudah, karena gas buang umumnya memiliki tekanan rendah dan konsentrasi CO2 yang rendah. Maka, diperlukan proses tambahan yang membutuhkan energi yang cukup besar untuk melakukan pemisahan.
Meski teknologi CCS menjanjikan untuk mengatasi sumber emisi CO2 dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau industri besar, masih banyak aspek yang harus diatasi sebelum CCS dapat terwujud sepenuhnya. Hal-hal tersebut melibatkan perbaikan teknologi, aspek legalitas, dan pembiayaan.