Cek Fakta Cipta Kerja: Pasal yang Rugikan Buruh dalam UU Nomor 11 Tahun 2020
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah melakukan kajian serta analisis terhadap salinan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, khususnya klaster ketenagakerjaan. Dari hasil analisis, KSPI mengaku banyak menemukan pasal yang merugikan kaum buruh.
Nasional & Dunia
JAKARTA – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah melakukan kajian serta analisis terhadap salinan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, khususnya klaster ketenagakerjaan. Dari hasil analisis, KSPI mengaku banyak menemukan pasal yang merugikan kaum buruh.
Berikut pasal-pasal yang dinilai dapat merugikan buruh menurut Presiden KSPI Said Iqbal:
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
1. Sistem Upah Murah dan Hilangnya Upah Minimun Sektoral
Hal ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dinilai dapat merugikan buruh. Menurut Said Iqbal, penetapan UMK dalam pasal tersebut bukan kewajiban, sehingga bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK.
“Hal ini akan mengakibatkan upah murah. Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar Rp1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar Rp4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” ujarnya melalui pesan singkat kepada TrenAsia.com, Selasa, 3 November 2020.
Dengan kata lain, ia bilang berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Ia juga menyoroti dihapusnya Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sehingga upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP) menjadi hilang. Padahal di seluruh dunia ada upah minimum sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri. Dengan begitu, ia menilai hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan.
“Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, nikel di Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk,” paparnya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dihilangkan. Jika ini terjadi, Said Iqbal khawatir akan berakibat tidak adanya income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah.
2. Ancaman Karyawan Kontrak Seumur Hidup
Said Iqbal bilang UU Nomor 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan kontrak.
“PKWT bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja,” imbuhnya.
Padahal, lanjutnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak. Dengan demikian, setelah menjalani kontrak maksimal 5 tahun, maka karyawan kontrak mempunyai harapan diangkat menjadi karyawan tetap.
3. Ancaman Outsourcing Seumur Hidup
Ia juga menuturkan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 64 dan 65 UU Nomor 13 Tahun 2003. Selain itu, juga menghapus batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, katering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.
Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, ia mengganggap semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.
“Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjualbelikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern),” tegasnya.
Dengan sistem kerja outsourcing, katanya seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaan. Dalam praktiknya, terang Iqbal, agen outsourcing sering berlepas tangan untuk bertanggung jawab terhadap masa depan pekerjanya.
“Hal ini, karena, agen outsourcing hanya menerima success fee per kepala dari tenaga kerja outsourcing yang digunakan oleh perusahaan pengguna. Oleh karena itu, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi lima jenis pekerjaan saja,” pintanya.
4. Pengurangan Nilai Pesangon
Lebih lanjut, Said Iqbal menyinggung soal pengurangan nilai pesangon buruh dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan upah yang tertera pada UU Cipta Kerja. Adapun dari 25 bulan upah, hanya 19 bulan upah dibayar oleh pengusaha. Sementara sisanya sebanyak 6 bulan upah dibayarkan melalui BPJS Ketenagakerjaan.
“Hal ini jelas merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN,” tuturnya.
Ia membandingkan dengan Malaysia. Walaupun jumlah pesangon antara 5-6 bulan upah, tetapi nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23%. Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan pensiunnya hanya 8,7%.
“Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik. Oleh karena itu, KSPI meminta nilai pesangon dikembalikan sesuai isi UU 13/2003,” tambah Said Iqbal.
5. Gugat ke MK, Hingga Aksi Demo dan Mogok Kerja Susulan
Menyikapi hal itu, pagi tadi, dua konfederasi pekerja secara resmi mendaftarkan gugatan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Selain melakukan upaya konstitusional melalui jalur Mahkamah Konstitusi, KSPI juga akan melanjutkan aksi-aksi dan mogok kerja sesuai dengan hak konstitusional buruh yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan berasifat anti kekerasan (non violence).
“Kami juga menuntut DPR untuk menerbitkan legislatif review terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 dan melakukan kampanye/sosialisasi tentang isi pasal UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh tanpa melakukan hoaks atau disinformasi,” tutup Said Iqbal. (SKO)