Cengkeraman China dalam Industri Teknologi Finansial Hingga Dompet Digital Kita
BI mewajibkan fintech asing seperti WeChat Pay atau Alipay untuk menyetorkan modal inti minimal Rp30 triliun jika ingin beroperasi di Indonesia. Angka itu terbilang cukup fantastis untuk ukuran industri fintech.
JAKARTA – Sekitar dua tahun yang lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan munculnya dompet digital (e-wallet) asal China, WeChat Pay yang beroperasi secara ilegal di Indonesia.
Platform pembayaran dengan sistem online ini bebas melenggang menjadi alat pembayaran di banyak merchant dalam negeri. Sebagai contoh di Pulau Bali. Pada saat itu saja diketahui telah ada 1.800 mitra yang menerima sistem pembayaran tersebut. Mulai dari hotel, hingga restoran.
Menariknya WeChat Pay menyasar wisatawan asal Negeri Tirai Bambu yang berada di Indonesia. Memang, metode pembayaran ini dikhususkan kepada warga negara China. Sumber dananya dari rekening kartu debit dan kartu kredit yang diterbitkan di negara tersebut.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Hal serupa juga dialami oleh e-wallet asal China lainnya, Alipay milik perusahaan raksasa Grup Alibaba. Keduanya pun dianggap ilegal sebelum menuntaskan sejumlah syarat. Salah satunya menggandeng bank umum kelompok usaha (BUKU) 4 yang ada di Indonesia.
Kabar tersebut langsung menjadi incaran bank nasional. Salah satunya, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Bank pelat merah ini pada tahun lalu telah mengajukan izin sebagai pelaku dompet digital lintas negara alias cross border e-wallet ke Bank Indonesia (BI) untuk kerja sama dengan Alipay. Namun sampai saat ini, belum menemui titik terang.
Teranyar, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) dipastikan memfasilitasi transaksi pembayaran WeChat Pay pada merchant yang menjadi mitra di seluruh Indonesia.
Hal tersebut muncul setelah terbitnya izin dari BI kepada Bank CIMB Niaga sebagai BUKU 4 pertama yang dapat menerima transaksi pembayaran dari platform teknologi finansial (fintech) asing tersebut pada awal tahun ini.
Dengan kata lain, WeChat Pay telah resmi mendapatkan izin operasi sebagai sistem pembayaran digital milik China yang sah digunakan di dalam negeri.
Selain CIMB Niaga, bank BUKU 4 lainnya yang bakal bekerja sama dengan penerbit asing adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Potensi Ancaman
Pengamat digital dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyatakan, masuknya dompet digital seperti WeChat Pay dan Alipay dianggap akan mengancam ekonomi digital dalam negeri. Bahkan menurutnya, teknologi finansial asal Negeri Tirai Bambu tersebut berpotensi menggerus industri pariwisata Tanah Air.
Sebagai contoh WeChat Pay yang telah resmi beroperasi, memungkinkan turis Tiongkok di Indonesia memenuhi berbagai kebutuhan tanpa harus menukarkan uang tunai dalam bentuk rupiah.
Ia menilai fenomena itu dapat mengganggu devisa negara. Pasalnya, tidak akan ada rupiah yang dikeluarkan oleh warga asing tersebut yang seharusnya dapat menggerakkan ekonomi daerah wisata.
Selain itu, ia menyatakan bahwa alasan menyasar turis asal China merupakan pintu masuk perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya di pasar Indonesia. Setelah besar dan ekosistem terbangun, Heru menyebut fintech seperti WeChat Pay atau Alipay akan masuk ke segmen lain.
Heru juga bilang ekosistem yang dibangun perusahaan China biasanya mengarahkan para turis untuk menggunakan jasa transportasi, hotel, hingga restoran yang dimiliki pengusaha asal China juga.
Hal itu bukan hanya berdampak bagi industri fintech Tanah Air, terlebih mengancam industri pariwisata. Sebab, lanjut Heru, devisa yang diharapkan didapat ternyata justru akan menjadi devisa Tiongkok.
“Kementerian Parekraf (Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) perlu mempelajari masalah ini. Sebab ketika segmen turis digarap, bisa jadi mereka akan menjadi zero tourism,” ujarnya kepada TrenAsia.com, Senin 12 Oktober 2020.
Terkait persyaratan BI yang mengatur operasi penerbit dompet digital asing secara terbatas dan perlu kerja sama dengan bank BUKU 4, Heru menganggap hal itu bukanlah yang utama.
Heru menerangkan, hal penting bagi para pelaku fintech asal China ini adalah akses. Ia menganggap bank nasional tidak lebih sebagai gateway untuk pengisian atau top up saldo saja.
Syarat Fintech Asing
Lembaga regulator di Indonesia pun telah merespons perkembangan model bisnis dan layanan keuangan digital seperti e-wallet maupun fintech peer-to-peer lending. Setidaknya terdapat tiga regulator yang mengurusi ranah ini.
Lembaga utama adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator jasa keuangan. Sementara, Bank Indonesia sebagai regulator pembayaran, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang berfokus pada hal-hal teknologi hingga data pengguna.
BI misalnya, mengatur soal interlink antara fintech asing dengan perbankan nasional. Melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik memberikan syarat kepada pelaku fintech asing untuk menjalin kerja sama dengan bank BUKU 4 di Indonesia.
Hal ini untuk menghindari adanya shadow banking yang berpotensi terjadi pada industri fintech, terlebih milik asing. Dengan begitu, application programming interface (API) atau pengaturan teknologi digital antar perbankan dan fintech dapat terintegrasi.
Dalam aturan tersebut juga diatur soal penempatan dana mengambang (floating fund) masyarakat yang berada di fintech. Sebanyak 30% harus ditempatkan di bank BUKU 4, sedangkan sisanya sebesar 70% wajib ditaruh pada surat berharga negara (SBN) atau surat berharga yang diterbitkan oleh BI.
Tak hanya itu, dikutip dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), BI mewajibkan fintech asing seperti WeChat Pay atau Alipay untuk menyetorkan modal inti minimal Rp30 triliun jika ingin beroperasi di Indonesia. Angka itu terbilang cukup fantastis untuk ukuran industri fintech.
Dari sisi teknologi, perusahaan fintech asing juga harus mengimplementasikan sistem Quick Respon Indonesia Standart (QRIS).
Fintech Asing Vs Fintech Lokal
Hal ini menggambarkan penetrasi pasar oleh instrumen-instrumen pembayaran digital milik asing berbeda dengan potensi penetrasi produk pembayaran lokal seperti DANA, GoPay, atau OVO.
Platform DANA merupakan perusahaan patungan antara Grup Emtek dengan perusahaan Ant Financial alias Alipay asal China. Secara terpisah, Alipay sendiri dapat beroperasi langsung untuk digunakan oleh warga negara China di Indonesia.
Meskipun telah mendirikan joint venture di dalam negeri, tak lantas membuat Alipay bisa melenggang bebas di pasar domestik. DANA dan Alipay harus mematuhi persyaratan yang berbeda meskipun keduanya sama-sama sebuah entitas fintech dan saling berafiliasi.
Sedangkan dari sisi pengamat, Heru Sutadi menganggap keduanya memiliki perbedaan yang sangat besar dalam menjalankan bisnisnya. Menurutnya meskipun sebagian besar investor fintech lokal berasal dari luar negeri, namun yang terpenting memberikan dampak terhadap ekonomi nasional.
“Sebab banyak yang seolah investasi tapi ternyata hanya jualan produk atau aplikasi, kantor atau badan usaha tetap saja tidak ada di sini,” tuturnya.
Meski investasi berasal dari asing, namun badan usahanya ada di Indonesia. Di samping itu, perusahaan juga akan membayar pajak, hingga merekrut karyawan dari Indonesia. Menurutnya, itu merupakan model investasi asing yang dapat terima.
“Tapi kalau bisnis cilukba, hanya ada layanan dan jadikan Indonesia pasar, ini yang tidak bisa kita terima karena tidak ada kontribusi terhadap ekonomi nasional, baik pariwisata maupun sistem pembayaran,” tukasnya.
Jalan Tengah
Panjang dan rumitnya jalan untuk fintech asal China mendapatkan status resmi dari pemerintah RI nampaknya membuat mereka setengah hati dalam menggapainya tujuan tersebut.
Dari dua perusahaan fintech asal China, hanya WeChat Pay milik Tencent Holdings yang telah mengantongi izin dari BI. Sementara sampai saat ini, belum ada titik terang terkait penerbitan izin Alipay, meskipun sejumlah bank nasional seperti BRI dan BCA diketahui telah merapat.
Investasi pada perusahaan lokal berbasis pembayaran digital dapat menjadi jalan tengah bagi para pelaku fintech asing, termasuk dari China.
Apalagi, pengembangan industri fintech Indonesia sering disebut merefleksikan arah digital China sebelumnya. Oleh karena itu, adaptasi model bisnis perusahaan-perusahaan teknologi Negeri Tirai Bambu berfungsi baik di Indonesia ketimbang perusahaan asal Negeri Paman Sam.
Kemiripan yang diadopsi pasar dalam negeri di antaranya adalah fokus pada transaksi melalui fasilitasi pembayaran dan ekstensi dari berbagai produk finansial yang dibangun di atas satu platform.
Lalu penerapan model bisnis online-to-offline (O2O) yang massif di Tanah Air di mana telepon seluler digunakan sebagai pembayaran fisik dengan menggunakan QR Code.
Serta kemunculan “aplikasi super” (super app) untuk mengagregasikan pelayanan yang berbeda dalam satu platform. Itu semua merefleksikan model China seperti Alibaba atau WeChat.
Sementara, tiga hal ini kontra dengan model yang diterapkan kebanyakan perusahaan raksasa Amerika Serikat yang berbasis iklan layaknya Facebook dan Google.
Investasi dan teknologi China dinilai sempurna dan cocok untuk mendukung pertumbuhan aspirasi digital Indonesia. Para investor Shanghai memahami pasar Indonesia bisa mereplikasi formula yang membawa kesuksesan di China dengan dengan beberapa adaptasi untuk pasar Indonesia.
Investor Kakap China
Seperti yang telah disebutkan sekilas bahwa dompet digital DANA merupakan perusahaan patungan antara Grup Emtek milik konglomerat Eddy Kusnadi Sariaatmadja bersama perusahaan raksasa Ant Financial atau Alipay yang merupakan anak usaha dari Alibaba Group.
Selain itu, ada layanan pembayaran digital Go-Pay yang merupakan bagian dari decacorn Gojek. Di balik fintech tersebut terdapat nama-nama besar perusahaan raksasa teknologi Tiongkok mulai dari Tencent hingga JD.com.
Tencent dan perusahaan China lainnya terhitung telah hadir beberapa kali dalam seri pendanaan Gojek. Pada 2017, Tencent dilaporkan memberikan kontribusi sekitar US$150 juta. Diikuti oleh JD.com sebesar US$100 juta.
Yang paling besar pada tahun 2018. Saat itu, perusahaan yang didirikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tersebut meraih dana segar sebesar US$1 miliar.
Di dalamnya terdapat Tencent dan JD.com serta Potkin yang mewakili investor China. Sedangkan satu perusahaan raksasa AS, Google juga turut ambil bagian dalam seri pendanaan tersebut.
Tidak hanya bermain pada fintech pembayaran, nampaknya fintech P2P lending Indonesia juga memiliki daya tarik tersendiri bagi investor China.
Selain mendirikan perusahaan patungan pada platform dompet digital DANA, Ant Financial juga merogoh kocek yang cukup dalam untuk merambah jasa pinjaman online (pinjol) dalam negeri dengan menyuntikkan dana kepada Akulaku.
Pada putaran pendanaan seri D saja, Ant Financial disebut-sebut telah menggelontorkan dana sebesar US$100 juta atau setara Rp1,47 triliun (asumsi kurs Rp14.700 per dolar AS).
Beberapa fintech lending seperti Investree, Dana Rupiah, Kredit Pintar, dan Rupiah Plus, serta beberapa entitas pinjol yang di danai oleh investor asing, termasuk China.
Biasanya, perusahaan-perusahaan modal ventura (venture capital) dari China yang paling rajin memberikan pendanaan untuk fintech lending di Indonesia.
Kepemilikan Dibatasi
Meskipun para investor menilai pasar ekonomi digital Indonesia sangat potensial, regulasi keuangan Indonesia tidak memperbolehkan kepemilikan 100% perusahaan fintech oleh asing. Batas untuk kepemilikan asing pada fintech lokal beragam berdasarkan model bisnisnya.
Untuk fintech pembayaran atau e-money, kepemilikan asing hanya dibatasi sebanyak 49% saham. Sementara untuk fintech P2P lending, kepemilikan asing terhadap perusahaan mencapai 85%.
Menjadi menarik untuk dibahas bahwa melalui aturan tersebut, memungkinkan adanya kontrol yang besar oleh investor asing pada perusahaan fintech P2P lending.
Sedangkan dominasi kontrol oleh asing tidak memungkinkan untuk perusahaan teknologi finansial pembayaran di dalam negeri. Alasannya, mengingat maksimal hanya dibatasi sebesar 49% saja.
Sementara skema ‘kontrol bersama’ melalui joint venture merupakan opsi yang sering dipilih dalam menjalankan kerja sama bisnis di sektor ini. Struktur kemitraan lebih mirip konsep kesetaraan antara mitra asing dan lokal.
Munculnya ‘kontrol bersama’ sebagian besar disebabkan karena adanya kepercayaan pada mitra lokal untuk membaca pasar dalam negeri. Mitra lokal juga lebih memiliki reputasi grup bisnis dengan kekuatan negosiasi yang lebih kuat.
Jadi, investasi China merupakan sebuah dukungan atau malah ancaman bagi Bangsa Indonesia?