Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Channeling Kian Mendominasi di Fintech Lending, Lender Individu Mulai Susut Gara-gara Ini

  • Channeling dari lender institusi saat ini semakin mendominasi karena adanya faktor risk and return yang menjadi bahan pertimbangan bagi lender individual.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Penyaluran kredit atau pinjaman melalui skema channeling dari institusi ke platform fintech peer-to-peer (P2P) lending semakin mendominasi seiring berjalannya waktu sementara lender individu kian menyusut. 

Chief Executive Officer (CEO) dan Co-founder KoinWorks Benedicto Haryono mengatakan, channeling dari lender institusi saat ini semakin mendominasi karena adanya faktor risk and return yang menjadi bahan pertimbangan bagi lender individual. 

Faktor tersebut menjadi bottleneck bagi lender individu menyalurkan pembiayaan melalui platform fintech P2P lending, dan mencuatnya faktor itu ditengarai karena Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69/PMK.03/2022 yang membebankan Pajak Penghasilan (PPh) kepada pemberi dan penerima pinjaman.

Beban Pajak Mendorong Penyusutan Lender Individu

Dalam PMK yang  tersebut, diatur penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh pemberi pinjaman (lender) dapat dikenakan potongan PPh dengan tarif 15% dari jumlah bruto bunga jika dia merupakan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. 

Lalu, lender dikenakan PPh dengan tarif 20% dari jumlah bruto bunga jika pemberi pinjaman merupakan wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

Menurut Benedicto, beban pajak tersebut tampaknya membuat banyak lender individu berpikir bahwa tingkat risiko dari penyaluran pinjaman ke fintech P2P lending tidak sebanding dengan imbal hasil karena pajak yang membebani. 

“Karena PMK 69 terakhir itu membuat risk and return-nya untuk para pendana ritel itu tidak make sense,” papar Benedicto seusai acara peluncuran Impact Report 2023 di Jakarta, Rabu, 19 Juni 2024.

Porsi Channeling Membesar, Individu Menciut

Seiring dengan menurunnya lender individu yang menyalurkan pembiayaan via fintech P2P lending, porsi penyaluran channeling pun semakin mendominasi. 

Benedicto menyebutkan, saat ini, porsi lender dari institusi keuangan yang menyalurkan dengan skema channeling mencapai sekitar 60% di KoinWorks.

Sementara itu, lender individu saat ini hanya sekitar 40%. Padahal, sebelum diterapkannya PMK 69, porsi lender individu bisa mencapai 80%.

“Karena pendana ritel kena pajak tersebut. Pajaknya gila,” ungkap Benedicto. 

Baca Juga: Mengupas Bank Digital (Part 4): Risiko Channeling ke Fintech Lending

Merancang Ulang Risk Appetite 

Berhubung lebih banyak lender institusi yang salurkan pembiayaan, pada gilirannya KoinWorks pun mengikuti selera risiko (risk appetite) dari para lender institusional. 

Dengan adanya penyesuaian ulang terhadap selera risiko, KoinWorks pun tidak bisa lagi menyasar semua segmen industri karena harus adanya adaptasi terhadap tingkat risiko yang cocok dengan lender institusi. 

“Setelah peraturan itu terbit, dua tahun berikutnya kita sekarang jadi kembalikan harus menyeluruhkan kepada institusi. Institusi juga memiliki risk appetite yang berbeda ya,” kata Benedicto. 

Dengan adanya penyesuaian, akhirnya KoinWorks pun mengurangi dukungan terhadap pendanaan untuk keperluan belanja modal dalam rangka pemenuhan kebutuhan aset (capital expenditure) dan lebih banyak fokus kepada modal kerja bersih (working capital). 

“Kenapa? Karena appetite-nya dari institusi tidak ke arah sana. Itu memang kita agak sayangkan, tapi memang itu adalah realitas yang sekarang ada. Bukan berarti kita menyerah, tapi kita harus mencari cara-cara lain sih,” sambung Benedicto. 

Kemudian, KoinWorks pun mengurangi pendanaan kepada sektor-sektor berisiko untuk menekan pinjaman bermasalah, dan beralih ke sektor yang lebih minim risiko seperti fast moving consumer goods (FMCG). 

Outstanding Skema Channeling Melejit 

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pinjaman dari fintech lending sendiri mengalami pertumbuhan sebesar 22,94% year on year (yoy), mencapai Rp62,74 triliun pada April 2024. 

Lebih dari separuh total pinjaman tersebut atau sekitar 56,27%, dengan nominal Rp35,31 triliun, berasal dari portofolio pemberi dana (lender) yang merupakan perbankan, baik domestik maupun internasional.

Secara spesifik, lender yang berasal dari bank dalam negeri mencatat outstanding pinjaman di fintech lending sebesar Rp33,67 triliun, menunjukkan peningkatan sebesar 47,90% yoy per April 2024. 

Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan posisi pada Desember 2023 yang mencatat pertumbuhan sebesar 45,57%.

Jika diperinci lebih lanjut, sektor bank umum mendominasi dengan nilai outstanding pinjaman di fintech lending sebesar Rp31,31 triliun. 

Penyaluran kredit ini dilakukan melalui 7.438 rekening lender. Nilai pinjaman dari bank umum melalui fintech lending ini meningkat sebesar 47,81%, dengan jumlah rekening yang juga meningkat sebesar 12,37%.

Peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada segmen Bank Pembangunan Daerah (BPD). BPD yang berperan sebagai lender mencatatkan 6.190 jumlah rekening pada April 2024, meningkat pesat dibandingkan hanya 11 rekening setahun sebelumnya. 

Seiring dengan peningkatan jumlah rekening tersebut, outstanding pinjaman yang disalurkan oleh BPD juga tumbuh sebesar 108,18% menjadi Rp1,32 triliun.

Sementara itu, lender yang berasal dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencatat outstanding pinjaman di fintech lending sebesar Rp1,04 triliun per April 2024. 

Pertumbuhan ini merupakan yang paling rendah di antara kategori bank lain, yaitu sebesar 9,84%. BPR mencatatkan 329 rekening lender, meningkat dari 277 rekening pada tahun sebelumnya.