Cabai salah satu komoditas penyumbang deflasi di Lampung 2021. (Ismail Pohan/ TrenAsia)
Nasional

CIPS: Hindari Kelangkaan dan Kenaikan Pangan, Indonesia Perlu Buka Gerbang Impor

  • Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan opsi relaksasi impor guna mengantisipasi masalah kelangkaan dan kenaikan harga pangan.
Nasional
Merina

Merina

Author

JAKARTA - Pemerintah Indonesia dinilai perlu mempertimbangkan opsi relaksasi imporsebagai bentuk antisipasi masalah kelangkaan dan kenaikan harga pangan. Seperti diketahui, problematika ini muncul akibat melonjaknya harga beberapa komoditas pangan imbas faktor internal maupun ekseternal, salah satunya perang antara Rusia dan Ukraina.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan  relaksasi impor dapat memberikan kestabilan harga pangan. 

Hingga saat ini, inflasi di Indonesia juga masih cukup terkendali. Sehingga, produk-produk pangan yang selama ini dikontrol perdagangannya dapat direlaksasikan dari segi kuota jika inflasi dirasa mulai menekan.

"Kebetulan selama ini harga pangan di Indonesia memang sudah lebih mahal daripada pasar dunia  akibat pembatasan impor,” ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip Minggu, 13 Maret 2022.

Krisna menjelaskan Indonesia dapat melakukan relaksasi dengan membuka kuota impor dari beberapa komoditas pangan dengan kuota impor agar tetap mejaga nilai tukar petani dan memertahankan votalitas harga. Jika suplai dari dalam negeri dirasa mencukupi maka keran impor akan ditutup, jika mengaalami penguatan harga yang terlalu tinggi maka keran impor dapat dibuka.

Hal ini karena, kuota impor dapat menyebabkan naiknya harga domestik dibandingkan dengan harga internasiona. Sehingga dilakukan pembukaan kuota impor agar dapat membatasi kenaikan harga.

“Akan tetapi, jika harga pangan dunia naik terlalu tinggi melebihi harga domestik, maka meskipun kuota impor dibuka sebebas-bebasnya, maka harga tidak akan turun. Jadi, jika harga domestik naik, kita tinggal buka keran impor. Selama harga internasional selalu lebih rendah daripada harga domestik, maka cara ini akan bisa mengendalikan inflasi,” tutup Krisna.

Kenaikan Harga Berbagai Komoditas

Di sisi lain, Indonesia memiliki hubungan dagang yang tidak terlalu dekat dengan Rusia ataupun Ukraina. Hal ini terlihat dari minimnya presentase nilai total impor kedua negara dengan kontribusi yang hanya mencapai 1%. Begitu pula nilai investasi kedua negara ke indonesia yang tipis.

Namun, keduanya merupakan salah satu importir pokok beberapa kebutuhan. Ukraina memasok sekitar 24% dari total impor gandum indonesia dan Rusia menyumbang impor pupuk dalam negeri sebanyak 15%.  

Krisna menambahkan, meskpin jumlah impor gandum tidak terlalu besar tetapi Indonesia perlu mencari pemasok gandum lainnya, guna menghindari kelangkaan pangan jika perang terjadi dalam waktu yang lama.

“Karena sebagian besar impor gandum digunakan untuk penggilingan tepung terigu, yang tidak hanya dipakai oleh konsumen, tapi juga produsen mie instan, pasta, roti, hingga kue-kue dan jajanan pasar. Padahal tanpa perang inipun harga gandum dunia sedang naik-naiknya  karena bottleneck supply akibat masalah cuaca," imbuh Krisna.

Kemudian, Indonesia dirasa perlu mewasapadai melonjaknya harga komodotas lainnya. Terganggunya pasokan pupuk dunia berpotensi semakin mengerek harga pupuk yang sebelumnya sudah tinggi akibat larangan gas dan ekspor pupuk oleh Cina. Ini juga berpengaruh terhadap kenaikan harga komoditas lain seperti jagung dan kedelai.

Tersedianya pupuk juga merupakan suatu hal yang vital karna karena digunakan oleh semua tanaman. selain itu, dari dalam negeri, harga gas turut melonjak seiring dengan naiknya kebutuhan pabrik-pabrik smelter yang beroperasi.