Coba Bangkit di Semester II-2021, Kredit Korporasi Berharap pada Teknologi dan Tambang
- Kredit korporasi masih berpotensi bangkit pada paruh kedua tahun ini
Industri
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan kinerja kredit korporasi perbankan masih terkontraksi 2,02% year on year (yoy) pada semester I-2021. Kredit korporasi ini tergolong ketinggalan karena segmen lain telah menunjukan pemulihan, seperti kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang telah tumbuh 2,35% yoy.
Ekonom Senior Institute for Development on Economics and Finance (INDEF) Aviliani mengatakan kredit korporasi masih berpotensi bangkit pada paruh kedua tahun ini. Menurutnya, sejumlah sektor menjadi motor utama penggerak kredit korporasi pada semester II-2021.
Teknologi Jadi Primadona
Sektor pertama yang dinilainya punya kontribusi tinggi terhadap kredit korporasi adalah teknologi. Getolnya perusahaan teknologi untuk menambah jaringan menara telekomunikasi diprediksi bakal menghidupkan kembali kredit korporasi perbankan pada tahun ini.
- Bakal IPO Lepas 2,7 Miliar Saham, Ternyata Cemindo Gemilang Milik Konglomerat Martua Sitorus
- Target Net Zero Emission 2060, Pemerintah Godok Strategi Jangka Panjang
- Tak Selalu Mewah, Ternyata Orang Kaya Justru Lebih Pilih Versi Murah dari 5 Benda Ini
“Sebenarnya kredit korporasi ini masih tumbuh sejak semester I-2021, tapi pada sektor tertentu saja. Di sisa semester II ini, perusahaan teknologi yang sedang rajin membangun menara itu bisa mendongkrak kredit korporasi, apalagi kinerja perusahaan teknologi juga tengah positif kan,” ucap Aviliani saat dihubungi TrenAsia.com, Kamis, 12 Agustus 2021.
Emiten telekomunikasi tengah mengalami peningkatan kerja. Aviliani menilai hal ini juga ditopang oleh sentimen dari implementasi 5G di Indonesia.
Tengok saja emiten teknologi PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang mengalami pertumbuhan signifikan. Kapitalisasi pasar emiten data center ini telah menembus Rp140,64 triliun.
Ada pula PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) yang menjadi buruan investor asing pada semester I-2021. Saham emiten telekomunikasi ini secara keseluruhan mendatangkan net buy atau beli bersih investor asing sebesar Rp5 triliun paruh pertama 2021.
Secara keseluruhan, RTI Infokom menghimpun bursa Indonesia kedatangan dana Rp13,63 triliun dari investor asing pada semester I-2021. Laba bersih TLKM naik dari Rp5,86 triliun pada kuartal I-2020 menjadi Rp6,01 triliun pada kuartal I-2021. Selain kokoh secara kinerja keuangan, emiten pelat merah ini pun getol melakukan aksi korporasi.
Menurut Aviliani, kinerja emiten-emiten telekomunikasi ini bakal memacu kredit korporasi pada semester II-2021. “Karena kinerjanya positif, ini meningkatkan permintaan terhadap kredit di perbankan,” jelas Aviliani.
Berkah Proyek Baterai
Tidak hanya itu, kredit korporasi pada semester II-2021 ini disebut Aviliani bakal ditopang oleh sektor tambang. Menurutnya, percepatan proyek industri baterai di dalam negeri bakal memacu emiten tambang untuk menarik kredit dari perbankan.
“Sektor tambang, terutama nikel ini mengalami pertumbuhan dan juga menumbuhkan kredit korporasi juga. Ini karena ada proyek baterai yang menjadi sentimen terhadap kredit korporasi,” ucap Aviliani.
- Ada Kebijakan Fast Entry, Bukalapak Bisa Langsung Masuk Indeks LQ45?
- IPO BUKA: Masuk Bursa Saham Pagi Ini, Bukalapak Catat Banyak Rekor
- Resmi Tercatat Hari Ini, Investor Eksisting Bukalapak Dilarang Jual Saham Dulu
Seperti diketahui, Konsorsium Hyundai akan membentuk joint venture (JV) dengan PT Industri Baterai Indonesia selaku holding BUMN Baterai yang merupakan gabungan dari empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, PT Pertamina (Persero), MIND ID, dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam untuk menggarap proyek ini.
Digarap empat emiten raksasa, proyek ini diramal Aviliani ikut membangkitkan kredit korporasi pada tahun ini. “Banyak perusahaan-perusahaan masuk di nikel, pertumbuhannya ada di sektor ini,” ujar Aviliani.
Manufaktur Jadi Pemberat
Di sisi lain, sektor manufaktur justru mengalami penurunan kinerja pada semester II-2021 ini. Hal ini tidak lepas dari merosotnya nilai Purchase Managers’ Index (PMI) Indonesia ke level 40,10 pada Juli 2021 atau terendah dalam setahun.
Kondisi ini mengindikasikan adanya penurunan produktivitas dari pelaku industri manufaktur. Akibatnya, pelaku usaha ragu untuk menarik kredit dari perbankan.
“Sehingga kalau 40 itu artinya, ekspektasinya adalah belum perlu meningkatkan produksi. Mereka melakukan pembatasan produksi, baru kalau di atas 60 itu tandanya ada perbaikan dan baru lebih berpotensi mengambil kredit,” ucap Aviliani.
- Makin Digandrungi, Ini Keunggulan Paylater dari Kartu Kredit
- Buntut Review Produk Kecantikan, Ini Kronologi Penangkapan dr Richard Lee
- Bakal IPO Lepas 2,7 Miliar Saham, Ternyata Cemindo Gemilang Milik Konglomerat Martua Sitorus
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Wimboh Santoso mengungkapkan terdapat 10 korporasi yang tengah dipantau OJK. Dirinya menyebut tengah melakukan pemantauan khusus terhadap 10 korporasi sekaligus debitur yang memiliki nilai kredit sebesar Rp381,6 triliun per Maret-Juni 2021.
Wimboh tidak menyebutkan secara gamblang korporasi mana saja yang tengah dipantau OJK. Namun, dirinya mengatakan 10 korporasi ini bergerak di sektor pariwisata, perhotelan, restoran, dan maskapai penerbangan.
“Tengah kami monitor dan akan track terus. Kami monitor secara individu debitur besar tersebut agar bisa bangkit kembali,” ucap Wimboh dalam sebuah forum belum lama ini.