COVID-19 Varian Baru Merebak di Singapura, Lonjakan Diperkirakan Akhir Juni 2024
- Tidak ada rencana untuk melakukan pembatasan sosial dalam bentuk apa pun atau tindakan wajib lainnya untuk saat ini, karena Covid-19 dianggap sebagai penyakit endemik di Singapura
Dunia
JAKARTA – Singapura baru-baru ini mengalami gelombang baru COVID-19. Pihak berwenang Singapura memprediksi puncak dari gelombang tersebut terjadi pada akhir Juni 2024.
Menteri Kesehatan Singapura (Menkes) Ong Ye Kung mengatakan sebanyak 25.900 kasus COVID-19 tercatat di Singapura, sepanjang 5-11 Mei 2024. Jumlah ini meningkat sebesar 90%, dibandingkan dengan 13.700 kasus pada pekan sebelumnya.
“Kita berada pada tahap awal gelombang yang terus meningkat,” kata Ong. “Jadi, menurut saya gelombang ini akan mencapai puncaknya dalam dua hingga empat minggu ke depan, yang berarti antara pertengahan dan akhir Juni,” katanya, dikutip dari Livermint pada Selasa, 21 Mei 2024.
- Google Maps Hadirkan Fitur AR, Pengguna Bisa Jelajahi Dunia Secara Riil Lewat HP
- Luncurkan Desain Baru, iPhone Seri ini Diklaim Lebih Ramping dan Mewah
- Penerimaan Turun, Mengapa Pemerintah Ngotot Tarif Cukai Rokok Ditetapkan Multiyears?
Ong mengatakan jika jumlah kasus Covid-19 meningkat dua kali lipat, Singapura akan memiliki 500 pasien dalam sistem layanan kesehatannya, dan jumlah tersebut dapat ditangani oleh Singapura. Namun, jika jumlah kasus meningkat dua kali lipat untuk kedua kalinya, maka akan ada 1.000 pasien, dan itu akan menjadi beban besar bagi sistem rumah sakit.
“Seribu tempat tidur setara dengan satu rumah sakit daerah,” jelas Ong, dikutip dari The Straits Times. “Jadi, menurut saya sistem layanan kesehatan harus mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi.”
“Tidak ada rencana untuk melakukan pembatasan sosial dalam bentuk apa pun atau tindakan wajib lainnya untuk saat ini, karena Covid-19 dianggap sebagai penyakit endemik di Singapura,” ujarnya, seraya menambahkan penerapan tindakan tambahan akan menjadi pilihan terakhir.
Ong mengatakan, dengan Singapura sebagai pusat transportasi dan komunikasi, kota ini akan menjadi salah satu kota yang terkena gelombang Covid-19 lebih awal dibandingkan kota lain.
“Jadi Covid-19 hanyalah sesuatu yang harus kita jalani. Setiap tahun, kita diperkirakan akan mengalami satu atau dua gelombang,” katanya.
COVID-19 Varian Baru di Singapura
COVID-19 varian baru yang sedang merebak di Singapura adalah varian KP.1 dan KP.2. Kedua varian ini menyumbang lebih dari dua pertiga kasus COVID-19 di Singapura.
Kedua varian ini adalah bagian dari sub-varian baru yang disebut para ilmuwan “FLiRT,” yang namanya diambil dari huruf-huruf dalam mutasinya.
Varian-varian dalam FLiRT merupakan turunan dari varian JN.1, yang merupakan cabang dari varian Omicron. Varian JN.1 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia beberapa bulan yang lalu dan menyebabkan gelombang COVID-19 di Singapura pada bulan Desember.
KP.2 pertama kali terdeteksi di India pada awal Januari. Pada 3 Mei, World Health Organization (WHO) telah mengklasifikasikan KP.2 sebagai varian yang sedang dipantau.
Gejala dan Penyebab COVID-19 Varian Baru di Singapura
Menurut Dr. Leong Hoe Nam, seorang ahli penyakit menular dari Rophi Clinic di Singapura, gejala yang dirasakan untuk KP.1 dan KP.2 sama dengan varian sebelumnya. Ia menambahkan, tidak ada bukti bahwa varian-varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah.
Faktanya, menurut Profesor Paul Tambyah yang mengutip Infectious Diseases Society of America, penyakit yang disebabkan KP.2 dan KP.1 tidak separah penyakit yang disebabkan oleh varian pendahulunya, JN.1.
“Namun, KP.2 dan KP.1 mungkin lebih mudah menular,” kata Profesor Paul Tambyah, presiden Masyarakat Internasional untuk Penyakit Menular. Perilaku mereka mengikuti perilaku semua virus, yang cenderung berevolusi menjadi lebih mudah menular dan kurang mematikan.
“Bahkan virus pandemi influenza tahun 1918 yang mematikan, yang menewaskan satu dari 50 orang di seluruh dunia, berevolusi menjadi jenis influenza musiman yang dominan dari tahun 1920 hingga 1957,” kata Prof Tambyah dikutip dari CNA.
“Seperti JN.1 dan varian Omicron sebelumnya, diperlukan waktu sekitar lima hari atau lebih sebelum gejala muncul setelah terpapar, meskipun gejala dapat muncul lebih cepat,” kata Profesor Andy Pekosz dari Sekolah Kesehatan Masyarakat John Hopkins Bloomberg.
“Dalam hal gejala, kami tidak melihat sesuatu yang baru atau berbeda dengan varian-varian ini,” tambahnya.
“Kami terus melihat lebih banyak penyakit ringan, tetapi itu mungkin bukan karena virusnya lebih ringan, tetapi karena kekebalan tubuh kita jauh lebih kuat sekarang.”
- WWF 2024, Intimidasi dan Mimpi Investasi Rp150 Triliun
- Untung Puluhan Miliar, Pemegang Saham WEGE Diguyur Dividen Rp9,38 M
- Buku Citarum Harum, Jejak Transformasi Sungai Purba yang Tercemar
Gejala yang dialami termasuk demam, sakit tenggorokan, pilek, dan kelelahan. Saat ini, lebih sedikit orang yang kehilangan indera perasa dan penciuman dibandingkan pada awal pandemi, meskipun beberapa orang masih mungkin mengalami gejala tersebut.
Orang yang terinfeksi juga bisa mengalami gejala pencernaan seperti diare, mual, dan muntah, yang kadang-kadang keliru dianggap sebagai gejala norovirus.